PENJURU.ID | Opini – Sejak masuknya paham komunis di Indonesia yang dipelopori oleh Henk Sneevliet dan kaum sosialis Hindia Belanda dengan nama awal Indies Social Democratic Association (dalam bahasa Belanda: Indische Sociaal Democratische Vereeniging-, ISDV. pada tahun 1914 sampai pada kongres Komintern kelima pada tahun 1924 berubahlah namanya menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Ini adalah perubahan nama yang kedua setelah sebelumnya ISDV merubah namanya menjadi Perserikatan Komunis Hindia (PKH) pada kongres di semarang (Mei 1920).
Dalam sejarah Indonesia, bukan hanya sekali pemberontakan-pemberontakan yang didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Puncaknya adalah pada 30 september 1965 atau dikenal dengan G30SPKI, harus diakui bahwa itu adalah sejarah kelam paska kemerdekaan Indonesia, terlepas bahwa pembantaian simpatisan PKI dan yang tertuduh PKI tanpa adanya peradilan adalah hal yang tidak dibenarkan dalam HAM.
Komunisme tidak cocok berada di Indonesia
Gejolak paham komunis bukan hanya terjadi di Indonesia, kegagalan demi kegagalan diungkapkan oleh tokoh-tokoh komunis itu sendiri kita bisa melihat di beberapa fakta pengakuan para mantan pemimpinnya salah satunya yang dihimpun oleh Rizal Mallarangeng. Pada kumpulan essainya Tentang Manusia, Masyarakat dan Kekuasaan menceritakan tokoh Milovan Djilas.
Djilas adalah salah seorang pemimpin komunis Yugoslavia yang kemudian berbalik mengkritik sistem yang diperjuangkannya tersebut.
Hal ini karena rasa kecewanya terhadap praktik komunisme yang justru jauh panggang dari api dengan yang dijanjikan.
Pertama, Menurut Djilas, revolusi komunis adalah sebuah penipuan sejarah.
Kedua, komunisme menurut Djilas terlalu banyak mengumbar janji namun hanya sedikit yang ditepati.
Ketiga, Sistem komunisme juga membuat adanya perang laten antara pemegang kekuasaan dengan rakyatnya. Hal ini menurut Djilas karena kemunculan The New Class.
Keempat, Komunisme menjanjikan masyarakat tanpa kelas, namun dalam praktiknya justru malah muncul kelas baru, yakni para birokrat kekuasaan komunis yang menindas rakyatnya.
Kelima, Kaum birokrat ini tidak ada yang mengawasi, dan mereka sangat solid. Mereka menikmati kemewahan di atas penderitaan rakyat. Kelas baru ini menghisap rakyat.
Tentu jika kita melihat sejarah dan kegagalan pada negara-negara yang menganut ideologi komunisme maka sudah tepat paham tersebut tidak perlu kembali hadir apalagi diperjuangkan di Indonesia.
Indonesia sudah di anugerahi dengan Pancasila, tak perlu diperdebatkan ulang atau dibuatkan RUU HIP memasukan Trisila dan Ekasila maupun Ketuhanan yang berkebudayaan kedalam pasal RUU HIP dengan alasan historis pidato Soekarno 1 Juni 1945 maka sama saja dengan mereduksi Pancasila yang sudah final, belum lagi jika mengabaikan salah satu historis lain yaitu piagam Jakarta 22 Juni 1945 maka ini berpeluang hadirnya polemik baru di Indonesia karena terdapat nilai-nilai yang kontraproduktif dan terdapat unsur menginferentasi Pancasila.
Kita berharap seluruh stakeholder di Indonesia berfokus pada pembinaan implementasi Pancasila.
Ahmad Maulana Yusuf
Ketua Umum PC. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Jakarta Pusat Periode 2017-2018