Oleh : Nurdiyana, S.Pd.,M.H.
Dosen Program Studi PPKn Universitas Pamulang
PENJURU.ID | OPINI – Pendidikan berkualitas merupakan fondasi kemajuan bangsa, sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 dan dipertegas dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam Pasal 54 Ayat (1) Sisdiknas, ditegaskan bahwa setiap satuan pendidikan dapat membentuk komite sekolah sebagai wadah untuk memperkuat hubungan antara sekolah, masyarakat, dan orang tua. Hal ini menunjukkan bahwa kehadiran Komite Sekolah tidak hanya bersifat teknis-operasional, melainkan memiliki landasan konstitusional yang kuat sebagai manifestasi partisipasi publik dalam pendidikan.
Secara hierarki regulasi, pembentukan Komite Sekolah berakar pada UU Sisdiknas, yang kemudian dijabarkan lebih rinci melalui Permendikbud No. 75 Tahun 2016. Regulasi ini menegaskan posisi komite sebagai lembaga mandiri yang berperan sebagai advisory agency (pemberi pertimbangan), supporting agency (pendukung sumber daya), mediating agency (penghubung), dan controlling agency (pengawas). Dengan demikian, komite tidak hanya menjadi simbol partisipasi, tetapi juga aktor kunci dalam mendorong transparansi, akuntabilitas, dan inovasi di tingkat sekolah.
Fungsi strategis Komite Sekolah tercermin dalam kontribusinya terhadap perencanaan pendidikan. Misalnya, dalam penyusunan Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah (RKAS), komite berperan memberikan masukan berdasarkan aspirasi masyarakat, sesuai amanat Pasal 56 Ayat (3) Sisdiknas. Proses ini memastikan bahwa anggaran pendidikan tidak hanya memenuhi aspek administratif, tetapi juga menjawab kebutuhan substantif seperti peningkatan kompetensi guru, pengembangan kurikulum adaptif, atau penyediaan fasilitas pembelajaran inklusif.
Transparansi pengelolaan dana pendidikan, terutama dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang diatur dalam Permendikbud No. 8 Tahun 2020, menjadi salah satu fokus pengawasan Komite Sekolah. Dengan kewenangan untuk memantau alokasi dan penggunaan dana, komite berperan mencegah penyimpangan serta memastikan dana digunakan secara optimal untuk peningkatan mutu pembelajaran. Mekanisme ini sejalan dengan prinsip good governance yang menekankan akuntabilitas publik sebagai pilar utama tata kelola pendidikan.
Sebagai mediator, Komite Sekolah berfungsi menjembatani kepentingan sekolah dengan orang tua, dunia usaha, dan pemangku kepentingan lain. Pasal 54 Ayat (1) Sisdiknas secara eksplisit menempatkan komite sebagai institusi yang memfasilitasi sinergi ini. Kolaborasi tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk penyusunan kurikulum berbasis kebutuhan industri, program magang siswa, atau pelatihan guru bersama mitra usaha. Dengan demikian, komite berperan memastikan relevansi pendidikan dengan dinamika sosial-ekonomi masyarakat.
Dalam konteks pengawasan mutu, Komite Sekolah bertugas mengawal implementasi Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang diatur dalam PP No. 57 Tahun 2021. Melalui pemantauan terhadap proses pembelajaran, ketersediaan sarana prasarana, dan kompetensi pendidik, komite mendorong sekolah untuk memenuhi standar minimal sekaligus berinovasi menuju keunggulan. Peran ini semakin krusial mengingat SNP tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga memerlukan evaluasi berkelanjutan untuk menjawab tantangan zaman.
Tantangan utama yang dihadapi Komite Sekolah adalah kapasitas anggota yang belum merata. Meski Permendikbud 75/2016 mensyaratkan transparansi rekrutmen, masih banyak komite yang kurang memahami hak dan kewajibannya akibat sosialisasi yang tidak optimal. Di daerah terpencil, komite kerap dihadapkan pada minimnya literasi regulasi . Kondisi ini menghambat efektivitas komite dalam menjalankan fungsi pengawasan dan advokasi.
Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan penguatan kapasitas melalui pelatihan berbasis kebutuhan, seperti pemahaman terhadap UU Sisdiknas, mekanisme penganggaran sekolah, dan teknik pengawasan partisipatif. Selain itu, independensi komite harus dijaga melalui pengaturan yang jelas tentang hubungan kerja dengan kepala sekolah dan pemerintah daerah. PP No. 57/2021 tentang SNP dapat menjadi acuan untuk menyusun indikator kinerja komite yang terukur dan berdampak nyata.
Potensi Komite Sekolah sebagai agen perubahan juga tercermin dalam upaya mewujudkan pendidikan inklusif. Dengan merujuk UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, komite dapat mendorong sekolah mengembangkan kebijakan yang ramah bagi siswa berkebutuhan khusus. Inisiatif ini memerlukan kolaborasi dengan organisasi masyarakat, dinas pendidikan, dan tenaga ahli untuk memastikan implementasi yang holistik.
Sebagai penutup, Komite Sekolah adalah mitra strategis yang keberadaannya dilandasi regulasi kuat, mulai dari UU Sisdiknas hingga turunannya. Optimalisasi perannya memerlukan komitmen kolektif untuk memperkuat kapasitas, independensi, dan sinergi dengan semua pemangku kepentingan. Dengan demikian, komite tidak hanya menjadi jembatan aspirasi, tetapi juga penggerak utama terwujudnya pendidikan berkualitas, berkeadilan, dan berkelanjutan.