PENJURU.ID | OPINI – Di era digital ini, fenomena pengadilan netizen telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari dinamika sosial kita. Dalam teater publik media sosial, netizen berperan sebagai juri dan hakim yang menentukan nasib seseorang melalui opini yang sering kali terbentuk dari respons emosional sesaat. Eksposisi kasus-kasus sensitif seperti kekerasan seksual dan pembunuhan menjadi topik hangat yang menarik perhatian, dan sering kali, viralitas kasus tersebut dianggap sebagai penentu keadilan. Namun, benarkah keadilan dapat terjamin melalui viralitas?
Kasus pembunuhan yang diangkat dalam film “Vina: Sebelum 7 Hari,” yang disutradarai oleh Anggy Umbara, memberikan gambaran bagaimana media dapat menghidupkan kembali kasus yang terlupakan. Dengan 3,58 juta penonton per Mei 2024, film ini berhasil menarik perhatian publik terhadap kasus yang terjadi pada tahun 2016. Eksposur ini mendorong pengadilan netizen untuk aktif dalam mencari keadilan bagi korban. Namun, apakah keadilan yang dicapai melalui jalur ini benar-benar adil dan objektif?
Viralitas memang memiliki kekuatan untuk mengungkap fakta dan bukti yang mungkin tersembunyi, tetapi di sisi lain, ia juga bisa menghasilkan fakta imajiner dan bias yang merusak. Ketika opini publik yang bias mendominasi, proses hukum yang seharusnya objektif bisa terpengaruh, dan keadilan yang diharapkan malah terjebak dalam siklus perusakan oleh opini yang tidak terkendali. Fenomena ini terlihat jelas dalam film “Budi Pekerti” yang disutradarai oleh Wregas Bhanuteja. Film ini menggambarkan dampak dari cyber bullying yang luas, di mana tokoh utama, seorang guru bernama Bu Prani, harus menghadapi akibat dari perselisihan yang dipublikasikan di media sosial.
Cyber bullying yang sering muncul dalam pengadilan netizen bisa memberikan dampak negatif yang signifikan, seperti yang terjadi pada pertandingan timnas u23 Indonesia melawan Guinea. Kegagalan dalam pertandingan ini memicu gelombang cyber bullying yang disayangkan, mencerminkan bagaimana pengadilan netizen bisa merugikan individu atau kelompok tanpa pertimbangan yang matang.
Selain dampak emosional, pengadilan netizen juga dapat memperdalam kesenjangan dalam akses terhadap keadilan. Mereka yang memiliki sumber daya dan kehadiran online yang kuat sering kali memiliki keuntungan lebih besar dalam mempengaruhi opini publik, meninggalkan mereka yang kurang beruntung dalam posisi yang lebih rentan terhadap serangan dan kesalahan penghakiman.
Untuk mengatasi dampak negatif dari pengadilan netizen, kita memerlukan regulasi platform media sosial yang lebih ketat, pendidikan digital yang menyeluruh, dan penguatan sistem hukum dalam menangani kasus-kasus cyber bullying. Dengan langkah-langkah ini, kita bisa memastikan bahwa pengadilan netizen berjalan seiring dengan prinsip keadilan yang adil dan objektif, serta melindungi individu dari serangan cyber bullying yang merusak.
Pengadilan netizen memang memiliki potensi untuk menyuarakan keadilan, namun kita harus selalu ingat bahwa keadilan sejati harus berdiri di atas dasar kebenaran yang objektif, bukan popularitas atau sensasi semata. Hanya dengan kesadaran ini kita bisa mengarahkan kekuatan viralitas untuk mendukung keadilan yang sesungguhnya.
- Oleh : Pinkan Claudia Aribowo
- Mahasiswi FKIP PPKn Universitas Pamulang
- Kelas 06 PPKE 002