Refleksi Hari Pendidikan Nasional

Reza Hermawan Selaku Ketua Pengurus Pusat Generasi Muda Peduli Pendidikan Korps Indonesia Muda (GMPP KIM)
Reza Hermawan Selaku Ketua Pengurus Pusat Generasi Muda Peduli Pendidikan Korps Indonesia Muda (GMPP KIM)

PENJURU.ID, Dalam rangka menyambut peringatan hari pendidikan nasional 02 Mei 2020. Hari dimana 131 tahun yang lalu lahir seorang tokoh yang kemudian segenap hidupnya dicurahkan untuk kepentingan pendidikan anak bangsa walau harus menerima resiko merasakan kerasnya penjara kolonial Belanda. Dia pernah membuat Belanda marah dengan tulisanya yang berjudul Als Ik Eens Nederlander Was. Dia adalah Ki Hajar Dewantara, anak Keraton yang tidak mau memakai embel-embel Raden di depan namanya. Ia menangis dan kemudian bergerak ketika melihat anak bangsa tidak bisa sekolah karena sekolah yang dibuat Belanda sangat diskriminatif dan cenderung hanya untuk orang-orang kaya. Ki Hajar Dewantara kemudian mendirikan sekolah Taman Siswa, sebuah sekolah untuk semua anak bangsa. Di sekolah inilah karakter kebangsaan anak bangsa di bentuk untuk masa depan bangsanya, sebuah kemerdekaan. Inilah salah satu titik penting, betapa pendidikan merupakan wahana yang paling strategis untuk membangun masa depan bangsa sebagaimana yang dicontohkan Ki Hajar Dewantara.

Kini, ketika kemerdekaan bangsa sudah lebih dari 74 tahun, persoalan pendidikan di Indonesia masih menghadapi banyak masalah dan bahkan mengalami keterpurukan. Banyak para ahli pendidikan mengemukakan bahwa keterpurukan bangsa Indonesia hari ini adalah akibat langsung maupun tidak langsung dari kesalahan kebijakan pemerintah Orde Baru (1966-1998) yang tidak peduli pada pendidikan, misalnya untuk sektor pendidikan hanya dianggarkan 7 % saja dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) padahal Malaysia dan Thailand pada waktu itu sudah menganggarkan lebih dari 20 % untuk pendidikan dari APBN nya. Persoalan anggaran ini meski tidak menjadi satu-satunya faktor tetapi keberadaanya memiliki dampak yang sangat besar bagi kemajuan bangsa.

Bacaan Lainnya

Setelah runtuhnya rezim Orde Baru, dan kini Indonesia berada pada masa demokrasi yang mulai maju, berbagai masalah masih terus menghantui dunia pendidikan di Indonesia. Seperti yang dilaporkan Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berkantor pusat di Hongkong, mengumumkan hasil surveinya tentang penilaian mengenai kualitas pendidikan di kawasan Asia yang menempatkan Indonesia sebagai negara yang pendidikanya terburuk di kawasan Asia dan bahkan satu tingkat di bawah Vietnam.
Selain itu kualitas sumber daya manusia Indonesia juga rendah sebagaimana dijabarkan dalam Human Development Index (HDI) pada tahun 2019 lalu. Pada saat ini Indonesia memiliki peringkat kualitas hidup ke-111 dari 189 negara menurut laporan Indeks Pembangunan Manusia 2019 yang dikeluarkan PBB. Sedangkan menurut United Nations Development Programme (UNDP) Indonesia berada di peringkat 6 di Asia Tenggara dari 11 negara dengan posisi dibawah Filipina.

Lalu, bagaimana kita mensikapi fenomena keterpurukan bangsa kita di atas? Sulit memang untuk merubah masalah bangsa yang jumlah penduduknya lebih dari 267 juta jiwa. Padahal kedepan bangsa kita akan menghadapi tantangan yang cukup berat, menyangkut kehidupan bangsa Indonesia secara nasional dan dalam kehidupan global diantara bangsa-bangsa di dunia.

Kunci utama bagi suksesnya pendidikan untuk masa depan bangsa adalah sejauhmana kita tetap optimis menatap masa depan, tanpa harus kehilangan rasionalitas kita untuk selalu mengoreksi diri dan memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada. Secercah optimisme kini sudah mulai nampak, misalnya bisa dilihat dari jumlah anggaran pendidikan yang akan dinaikan menjadi 20 % dari APBN. Tidak tangggung-tanggung kenaikan anggaraan pendidikan ini tertuang dalam amandemen UUD 1945. Meski hingga saat ini realisasinya masih belum nampak, tetapi optimisme akan terwujudnya amanah UUD 1945 itu harus terus dijaga. Apalagi kini bangsa kita menjadi bangsa yang Demokratis di mata dunia Internasional (setelah pemilu 2004 menjadi negera demokrasi terbesar setelah Amerika dan India), dan ini menjadi modal penting bagi identitas kemajuan sebuah bangsa.

Optimisme saja memang tidak cukup kalau tidak diikuti dengan langkah-langkah konkrit. Lalu, langkah konkrit apa yang bisa kita lakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan kita untuk masa depan? Tentu jawabanya amat sangat banyak, tetapi penulis coba menjawabnya secara sederhana saja. Beberapa jawaban sederhana dibawah ini bisa juga sebagai refleksi untuk sama- sama kita renungkan.

Pertama, pendidikan itu tanggungjawab semua warga negara, bukan hanya tanggungjawab sekolah. Konsekuensinya semua warga negara memiliki kewajiban moral untuk menyelamatkan pendidikan. Sehingga diandaikan ada warga negara yang tidak bisa sekolah hanya karena tidak punya uang, maka warga negara yang kaya atau tergolong sejahtera memiliki kewajiban moral untuk menjadi orang tua asuh bagi kelangsungan sekolah anak yang tidak beruntung itu. (ingat! Walau angka partisipasi pendidikan oleh anak usia sekolah di Indonesia disebut meningkat tiap tahunnya namun di sisi lain, total jumlah anak putus sekolah di negara pada tahun 2019 tercatat berada di kisaran 4,5 juta anak).

Kedua, penulis meyakini paradigma yang mengatakan bahwa “pendidikan itu dimulai dari keluarga”. Paradigma ini penting untuk dimiliki oleh seluruh orang tua untuk membentuk karakter manusia masa depan bangsa ini. Keluarga adalah lingkungan yang paling pertama dan utama dirasakan oleh seorang anak, bahkan sejak masih dalam kandungan. Karena itu pendidikan di keluarga yang mencerahkan dan mampu membentuk karakter anak yang soleh dan kreatif adalah modal penting bagi kesuksesan anak di masa-masa selanjutnya.

Ketiga, kurikulum pendidikan, metodologi pengajaran, sitem evaluasi dan kesejahteraan guru, juga adalah hal penting yang harus terus di perbaiki karena zaman terus berkembang pesat dan saat ini kita sudah memasuki era Revolusi Industri 4.0. Masalah kurikulum misalnya bisa dicermati dari padatnya kurikulum atau terlalu banyaknya pelajaran juga menjadi persoalan tersendiri yang seringkali menghambat kreatifitas guru mapun siswa. Penulis sebetulnya lebih setuju jika sekolah menerapkan sitem SKS (Sistem Kredit Semester), dimana siswa diberikan kebebasan memilih mata pelajaran wajib dan pilihan dan ada ketentuan batas minimal jumlah kredit yang harus diselesaikan sehingga dinyatakan lulus suatu jenjang pendidikan tertentu. (khususnya untuk tingkat SMP dan SMA). Apalagi jika sistem SKS ini dipadukan dengan Kurikulum 2013 (K13), mungkin akan lebih membuat siswa menikmati belajar. Masalah metodologi pengajaran juga perlu terus dikembangkan (ini kewajiban guru). Sementara masalah sistem evaluasi juga perlu terus diperbaiki, seperti misalnya masalah Ujian Nasional yang hingga kini masih dipermasalahkan. Dan masalah kesejahteraan guru, ini juga perlu di cermati. Sebab, bagaimana mungkin guru akan asyik mengajar sementara urusan kesejahteraannya bermasalah. Atau bagaimana mungkin guru mengajar tidak gagap tehnologi dan informasi, sementara ia tidak punya uang untuk beli majalah, jurnal, buku-buku baru, apalagi beli komputer yang bisa akses dengan mudah ke internet. Oleh karena itu, kesejahteraan guru juga harus diperhatikan.

Keempat, untuk meningkatkan kualitas pendidikan demi masa depan diperlukan juga ketegasan untuk menegakkan aturan-aturan main pendidikan yang konsisten dan konsekuen. Sekolah seringkali tidak menghargai siswa yang belajar sungguh-sungguh, buktinya ada banyak siswa yang enggak belajar, malas-malasan, nilainya selalu merah, tapi naik kelas juga. Pokoknya 100% selalu naik kelas. Ini kan sama artinya tidak menghargai anak yang sungguh-sungguh belajar. Sebab yang santai-santai saja pasti naik kelas. Dan juga sekaligus tidak mendidik anak untuk belajar menghadapi resiko. Karena itu jangan heran jika mental manusia Indonesia cenderung enggak berani mengambil resiko, karena di sekolah tidak diajarkan untuk menghadapi resiko.

Kelima, pendidikan itu tidak hanya untuk mencerdaskan anak dalam satu kategori kecerdasan, misalnya hanya kecerdasan intelektual (IQ) tetapi juga untuk mengembangkan kecerdasan-kecerdasan lainya. Seperti kecerdasan spiritual (SQ), kecerdasan rasa (EQ), dan kecerdasan ketahanmalangan (AQ), dan sebagainya. Atau para ahli psikologi menyebutnya sebagai Multiple Intelligence. Sebab, salah satu penyebab bangsa kita berlarut-larut dalam krisis juga karena bangsa kita miskin SQ atau tepatnya miskin ahlak. Karena itu hal-hal yang sifatnya spiritual juga menjadi sesuatu yang penting untuk terus di jaga dan dikembangkan melalui pendidikan. Termasuk juga membentuk semangat team work, pluralism, dan optimistik perlu dikembangkan di sekolah, misalnya bisa melalui kegiatan ekstrakurikuler, OSIS, dan kegiatan keagamaan. Itulah sebabnya Ki Hajar Dewantara sejak awal mendirikan sekolah Taman Siswa juga mengedepankan pendidikan yang memekarkan rasa.

Keenam, mulailah merubah dari diri sendiri. Sebab untuk kemajuan masa depan bangsa harus bisa dimulai dari diri sendiri. Tentu saja dengan terus meningkatkan kualitas diri. Bukankah kemajuan sebuah bangsa tidak bisa terwujud dengan perilaku santai dan bermalas-malasan.

Oleh: Reza Hermawan (Ketua GMPP – KIM)

Pos terkait