PENJURU.ID | Opini – Perubahan iklim (climate change) merupakan salah satu ancaman global yang sedang dan akan menghantam umat manusia. Studi tentang perubahan iklim rupanya telah menjadi perhatian bagi para ilmuan sejak zaman Yunani kuno ketika murid Aristoteles, Theophrastus (370 SM-285 SM) sebagai ilmuan pertama yang memperkenalkan istilah ini.
Isu itu kemudian diteliti secara serius pada abad modern (pertengahan tahun 1970-an) ketika Exxon (sebuah perusahaan minyak terbesar) mulai khawatir akan suhu bumi yang diperkirakan sudah meningkat mencapai 3°C akibat pembakaran bahan bakar fosil yang berasal dari minyak bumi dan batu bara. Puncaknya, emisi merajai bumi sejak revolusi industri pecah antara tahun 1750-1850.
Penggunaan bahan bakar fosil yang berlebihan dan tak ramah lingkungan berkontribusi atas timbulnya efek gas rumah kaca (greenhouse effects) terhadap iklim global. Tidak hanya fosil, sebagai penyumbang terbesar emisi berasal dari penggundulan hutan atau deforestasi (deforestation).
Disinilah titik awal iklim global mulai mendera umat manusia akhirnya menghasilkan sebuah konsensus bersama negera-negara di dunia yang dinamakan kesepakatan paris (paris agreement) di bawah United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
Bagaimana tidak, dampaknya bisa menyebabkan kerentanan (vulnerability) bagi bencana (disaster) meski tak bisa dirasakan secara langsung seperti dampak pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang telah menginfeksi warga global saat ini. Tak terkecuali Indonesia. Namun kalau dihitung-hitung, akibat perubahan iklim, ternyata lebih menyeramkan dari Covid. Kok bisa? Begini uraiannya.
Kita hitung saja jika populasi manusia berkurang akibat pandemi Covid sejak Desember 2019 lalu yang menginfeksi secara brutal hampir seluruh wilayah Wuhan-China kemudian menular menjadi pandemi global, jumlah kasus kematian hingga kini kurang dari 1 juta jiwa. Melansir data dari laman Worldometers per 8 Juni 2020, jumlah kematian akibat Covid hanya 405.048 jiwa.
Angka diatas masih jauh dibawah angka kematian yang terdampak perubahan iklim meski kasus Covid diperkirakan akan terus bertambah sampai beberapa bulan kedepan. Apalagi di tambah dengan suhu bumi saat ini telah meningkat mencapai 1,5°F jika dibandingkan dengan abad sebelumnya.
Suhu ini diperkirakan akan meningkat setiap 100 tahun sekali sebesar 0,5°F-8,6°F. Lembaga ilmiah Amerika Serikat, National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) melaporkan bahwa Januari tahun 2020 menjadi peristiwa yang paling panas sepanjang sejarah planet bumi. Meskipun selama pandemi, emisi Carbon Dioksida (CO2) diklaim mengalami penurunan mencapai 8 giga ton dari sebelumnya 10 giga ton.
Namun klaim kualitas udara akibat dampak karantina wilayah untuk mencegah persebaran Covid tersebut di bantah oleh Gavin Schimdit selaku ilmuan iklim dan direktur NASA Goddard Institute for Space Studies. Menurutnya, tetap saja tren penurunan tersebut tidak berdampak signifikan, karena kapasitas idealnya, bumi hanya mampu menampung maksimal 2 giga ton. Dengan demikian, dampak emisi hanya berumur pendek atau setidaknya pada masa pandemi berlangsung. Kemudian saat aktivitas manusia kembali normal, maka diperkirakan emisi akan kembali mengganas.
Kembali ke soal angka kematian yang terdampak iklim global tadi, jumlahnya mencapai jutaan manusia. Laporan dari organisasi kesehatan dunia melalui Direktur Jenderal WHO, Dr. Tedros Adhanom Gebreyesus sebagaimana dikutip dari Now York Times Post yang terbit pada Jum’at (7/12/2018) lalu, pemanasan global (global warming) akibat penggunaan bahan bakar fosil dan polusi udara memicu setidaknya tujuh juta orang meninggal dunia setiap tahunnya. Jumlah kematian diatas merupakan akumulasi dari keseluruhan kasus akibat dampak perubahan iklim.
Sebagaimana Tedros diatas, ilmuan lain dari Wageningen University Marten Scheffer, mengingatkan kita bahwa kondisi planet bumi akibat pengaruh perubahan iklim sekitar 50 tahun yang akan datang diprediksi tak layak huni bahkan kondisi saat itu kelak akan menjadi pandemi baru. Dalam pemaparannya Scheffer mengatakan, “virus Corona telah mengubah dunia dengan cara yang sulit dibayangkan sebelumnya, dan hasil dari penelitian kami menunjukkan bagaimana perubahan iklim dapat melakukan hal serupa” sebagaimana dikutip dari jurnal Proceedings of the Nasional Academy of Sciences (PNAS) yang terbit pada bulan Mei 2020 lalu.
Lebih lanjut Scheffer mengatakan, “Sejumlah wilayah di bumi ini akan memanas ke tingkat suhu yang nyaris tak dapat ditinggali. Tidak hanya memiliki efek langsung yang menghancurkan, tetapi juga membuat masyarakat tidak akan mampu mengatasi krisis di masa depan, dan ini akan menjadi seperti “pandemi baru”. Satu-satunya hal yang dapat menghentikannya adalah pengurangan emisi karbon secara cepat”.
Adapun dampak perubahan iklim sangat rentan terhadap risiko bencana seperti ketidakseimbangan ekosistem, mencairnya gunung es di kutub, erosi pantai dan kenaikan air laut akibat gelombang ekstrem akhirnya menyebabkan banyak pulau tenggelam, serta bencana alam lainnya.
Selain itu, dampak perubahan iklim bisa menyebabkan cuaca atau curah hujan tak menentu. Saat musim hujan, intensitas hujan sangat tinggi akhirnya sungai meluap menjadi banjir dan menyebabkan tanah longsor, badai dan angin kencang hingga menyebabkan pohon tumbang. Yang lebih buruknya lagi, terkadang udara menjadi sangat panas padahal sedang musim hujan sebagaimana sifatnya, hujan membawa kesejukan. Begitupun sebaliknya.
Saat musim kemarau, suhu udara panas mengalami kenaikan akhirnya menyebabkan pemanasan global (global warming) menjadikan lapisan bumi mengalami kekeringan serta kebakaran hutan dan lahan, lalu terjadilah kabut asap. Kondisi inilah yang memungkinkan polusi dan udara tercemar sehingga merusak lingkungan hidup disekitar, kesehatan menjadi terganggu, bahkan berujung pada keselamatan jiwa sebagaimana laporan WHO di atas.
Artinya pada tahun 2070 yang akan datang, sekitar 30% populasi bumi akan bergantung hidup ditempat dengan cuaca yang sangat ekstrem, yaitu dengan suhu diatas 29°C. Perubahan ini akan berlangsung cepat namun tidak seperti pandemi. Jika pandemi bisa dicarikan vaksinnya, namun sebagai langkah preventif, perubahan iklim hanya butuh kepedulian massif warga global.
Prediksi para ahli pada saat itu nanti sebagaimana Scheffer diatas, gelombang air laut naik ke permukaan mencapai 90 cm, dan Indonesia akan kehilangan 2000 pulau kecil, 42 juta rumah di pesisir pantai akan hilang karena tenggelam.
Disaat musim hujan, tapi suhu udara menjadi sangat panas, padahal musim hujan mestinya menjadikan alam terasa dingin dan sejuk. Tetapi akibat perubahan iklim, suhu udara menjadi terbalik dari biasanya sebagaimana kita rasakan saat ini.
Dan contoh yang paling nyata akibat perubahan iklim, beberapa wilayah pesisir selatan Bima-NTB dan Karawang-Jawa Barat baru-baru ini di hantam dua gelombang sekaligus, yaitu genangan banjir dan gelombang air laut naik yang merendam sejumlah pemukiman penduduk.
Kendati belum ada data terbaru yang lebih update dan akurat mengenai kesehatan dan kematian, namun perubahan iklim tak bisa dianggap sebelah mata, karena dampaknya sangat dahsyat meski memakan waktu yang cukup lama. Atau dalam kata lain, dampaknya menyisakan efek beruntun yang berkepanjangan.
Gagal panen memicu kemiskinan dan kelaparan. Kebakaran hutan dan lahan menyebabkan kabut asap. Polusi menyebabkan udara tidak sehat hingga akhirnya memicu gangguan kesehatan bahkan berujung pada kematian, bahkan dapat mengganggu stabilitas perekonomian suatu Negara dan seterusnya sebagaimana telah di ulas di awal tadi.
Dengan demikian, umat manusia di muka bumi bersiap akan kembali menghadapi fenomena tak biasa layaknya pandemi corona yang sedang mewabahi hampir semua Negara di dunia.
Komitmen dan Kontribusi Indonesia Melawan Perubahan Iklim
Secara geografis, Indonesia tergolong sebagai daerah tropika basah sehingga memungkinkan potensi curah hujan dengan intensitas tinggi. Potensi tersebut didukung oleh ancaman badai tropis di sebelah utara Australia dan Philipina. Kondisi inilah yang berpotensi menyebabkan terjadinya banjir dan gelombang air laut yang sangat tinggi tadi.
Perubahan suhu udara ekstrim berpengaruh terhadap degradasi tanah sehingga tanah kehilangan unsur hara yang akhirnya membuat gagal panen. Tercatat, gagal panen tahun 2019 mencapai 31.000 hektar (ha) yang tersebar di 6 wilayah, yaitu Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTB, dan NTT.
Apalagi sebagai Negara tropis seperti Indonesia yang berdekatan langsung dengan garis ekuator, Indonesia hanya memiliki dua musim, yaitu musim hujan dan kemarau. Jika dihitung dengan kondisi normal, pergantian cuaca dalam negeri setidaknya terjadi setiap 6 bulan sekali.
Laporan dari BMKG pada bulan Maret lalu memaparkan, sekitar 27,5% zona musim (ZOM) pada bulan Juni ini akan memasuki musim kemarau terdiri dari pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Adapun wilayah lainnya telah memasuki musim kemarau lebih awal di sebagian kecil Nusa Tenggara, Bali, dan Jawa. Dengan demikian, 30,1% mengalami kemarau dibawah normal.
Tujuan artikel pendek ini ditulis agar menyadarkan sekaligus meyakinkan kita, terutama para pemangku kebijakan sebagai komponen utama melawan emisi yang sedang mengamuk ini, betapa dampak dari perubahan iklim itu tak bisa dianggap sederhana, karena selain mengancam keselamatan jiwa umat manusia bahkan makhluk hidup seperti hewan pun akan terancam punah, akibatnya juga berdampak pada sektor ekonomi.
Meski Indonesia tidak masuk dalam 10 besar Negara penyumbang emisi global, namun Indonesia tetap memiliki komitmen dan kontribusi agar menurunkan emisi. Komitmen itulah yang perlu kita dorong agar pemerintah terutama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) beserta segenap anak bangsa bersama-sama melawan bandelnya perubahan iklim layaknya bangsa ini bersatu melawan corona virus.
Sebagai upaya untuk melakukan pengendalian perubahan iklim, KHLK telah menuangkan skema melalui berbagai program aksi nasional serta kebijakan strategis lainnya yang di ratifikasi dari Kesepakatan Paris (Paris Agreement), kemudian dituangkan kedalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC), pembentukan program kampung iklim (Proklim) dan sebagainya. Komitmen itu disampaikan oleh otoritas KLHK di berbagai kesempatan, bahwa Indonesia menargetkan serta berkomitmen akan menurunkan emisi mencapai 3% menjadi 29% pada tahun 2030 mendatang.
Demi memenuhi kepentingan bersama, tentu kita semua harus mendukung dengan penuh optimis. Apalagi, Indonesia dipercayakan dunia Internasional sebagai anggota dewan Programme for the Endorsement Forest (PEFC), sebuah lembaga sertifikasi perhutanan nasional berbagai negara di dunia. Dengan posisi tersebut setidaknya dapat memperluas serta melindungi perhutanan lestari sebagai cadangan oksigen dan paru-paru dunia, sehingga besar kemungkinan emisi akan lebih stabil.
Sesungguhnya uraian diatas bukan hanya sekedar prediksi berdasarkan pendekatan para saintifik, tetapi dampaknya nyata dan akan terus berdampak buruk lagi jika kerusakan lingkungan hidup terus dibiarkan. Karenanya dibutuhkan kesadaran kolektif seluruh umat manusia secara konsisten dan berkelanjutan (sustainable), terutama pemerintah. Di sektor lingkungan hidup dan kehutanan, ada tiga isu strategis menjadi pekerjaan rumah (PR) pemerintah.
Pertama, mengatasi masalah illegal logging dan deforestasi sebagai salah satu sumber emisi. Kedua, kampanye adaptasi dan mitigasi perubahan iklim harus di massifkan meski telah di bentuk Proklim. Ketiga, alih fungsi energi fosil ke energi baru terbarukan yang lebih rendah emisi dan ramah lingkungan. Ketiga isu ini dipandang perlu untuk mengatasi perubahan iklim nasional bahkan global.
Fenomena alam telah menyajikan betapa semesta tampaknya sudah tak lagi bersahabat dengan kita. Akibat ulah tangan (sebagian) manusia yang tidak mengkaji dan mempertimbangkan dampak dan risiko buruk yang akan terjadi, kini, umat manusia rentan mengalami bencana sebagaimana telah di uraikan diatas.
Untuk itu, diperlukan langkah preventif agar dapat menekan ganasnya perubahan iklim yang semakin mengancam keselamatan umat bumi. Sebagai alternatif ketahanan iklim, mencegah pembabatan liar, menanam pohon sebanyak-banyaknya (reboisasi), menghemat penggunaan air dan listrik, mengurangi penggunaan kendaraan yang tinggi energi kemudian beralih ke sumber energi baru terbarukan yang lebih ramah lingkungan dan rendah emisi menjadi sebuah keniscayaan.
Dengan demikian, kondisi ini sebenarnya sangat relevan dengan kebijakan pemerintah yang akan menerapkan new normal. Toh, substansinya mengarahkan kepada penduduk bumi (khususnya masyarakat dalam negeri) agar menjaga keseimbangan ekosistem yang ramah lingkungan seperti wajib menjalankan pola hidup sehat dan sebagainya.
Oleh karena itu, perlu ada kesadaran semua pihak bahwa dampak perubahan iklim itu nyata, bukan sekedar ramalan masa depan, melainkan telah terjadi ribuan tahun yang lalu. Bahkan saat ini kita tengah merasakan dampak itu di tandai dengan cuaca tak menentu.
Akhirnya, kita percaya kepada hukum alam. Bumi yang hijau nan asri adalah mimpi setiap generasi. Karenanya, mari kita ciptakan lingkungan hidup yang sehat dan bersih. Kita jaga alam, maka alam akan menjaga kita!
Ketika air laut pasang, ketika sungai-sungai mulai kering dan meluap menjadi banjir, ketika suhu udara mulai panas, ketika para petani gagal panen, barulah kita sadar bahwa ternyata dampak perubahan iklim itu nyata.
Selamat Hari Lingkungan Hidup Sedunia.
Tulisan ini saya dedikasikan untuk Hari Lingkungan Hidup Sedunia.
Salam lestari!
Aris Munandar, Sekretaris DPP IMM (Bidang Lingkungan Hidup Periode 2016-2018) dan Ketua Umum Gema Tribumi (Gerakan Milenial untuk Kelestarian Bumi)