Menanti Penegakan Hukum Kapolri Baru

Aris Munandar

PENJURU | Opini – Usai resmi dilantik oleh Presden Jokowi di Istana Negara pada Rabu, 27 Januari 2021, Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) baru, Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo langsung disambut isu suku, agama, ras dan antar golongan (SARA).

Bagaimana tidak, saat proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di hadapan ketua dan anggota komisi III DPR, Jenderal bintang tiga kala itu meyakinkan para penguji beserta rakyat Indonesia bahwa ketika nanti diangkat menjadi Kapolri maka akan menegakkan hukum tanpa tebang pilih alias tak ada lagi istilah “hukum hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas” dengan penegakan hukum yang humanis dan memberi rasa keadilan bagi siapa pun tanpa tedeng aling-aling sebagaimana mottonya “PREdiktif, responSIbilitas, dan transparanSI (PRESISI).

Bacaan Lainnya

Setidaknya ada dua isu penting yang meresahkan masyarakat di tanah air dalam beberapa hari terakhir ini, yakni isu SARA yang dilakukan oleh Permadi Arya soal cuitannya yang diduga merendahkan derajat kemanusiaan eks komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai serta dugaan penistaan agama yang menganggap Islam sebagai agama yang arogan. Kemudian isu yang tak kalah meresahkan lagi yakni viralnya seorang remaja yang membakar bendera merah putih sebagai lambang Negara. Isu yang kedua, meski tak kalah penting, namun tidak seheboh isu SARA sangat sensitif dan akan menimbulkan dampak yang berkepanjangan. Karenanya institusi kepolisian harus hati-hati menyelesaikan kasus ini demi terciptanya pemeliharaan dan ketertiban masyarakat (Hartibmas) sebagaimana salah satu tugas dan fungsi Polri.

Padahal Negara-negara maju di dunia, penegakan hukum yang berkeadilan merupakan bab pendahuluan. Studi menunjukkan bahwa Negara yang kehidupan sosial-politiknya lebih kondusif, ekonomi dalam suatu Negara tersebut cenderung stabil seperti halnya Korea Selatan. Negeri Ginseng itu sebagai salah satu Negara yang berhasil lolos dari jebakan kelas menengah (middle income trap) menjadi salah satu Negara maju di dunia. Namun bisa kah Indonesia keluar dari belenggu ketertinggalan itu? Tampaknya hal itu agak sulit tercapai sepanjang potret buram penegakkan hukum beberapa tahun terakhir ini masih jauh dari harapan.

Jika kepolisian tidak mampu menjaga stabilitas dalam negeri akibat ulah kelompok atau perorangan yang acap kali membuat kegaduhan, maka akan berdampak pada sosial-ekonomi. Kenapa demikian? Sebab energi anak bangsa terkuras dengan isu-isu yang bersifat adu domba yang berpotensi memecah belah bangsa, bahkan berujung pada perang saudara. Ini lebih berbahaya dari Covid-19.

Institusi kepolisian sebagai aktor utama yang menegakkan hukum mestinya harus lebih mempertimbangkan dampak yang timbul akibat dari isu yang berhubungan dengan SARA. Kendati demikian, ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh institusi kepolisian agar terciptanya stabilitas nasional. Pertama, institusi kepolisian harus punya kemandirian dalam penegakan hukum yang berkeadilan. Kedua, menegakkan hukum yang humanis tanpa tebang pilih. Dua pendekatan ini sejalan dengan visi Presisi sebagai road map Kapolri yang dituangkan ke dalam 7 poin. Selain itu, saat serah terima jabatan (Sertijab) dengan Jenderal Polisi Idham Azis, sang Kapolri baru pun berkomitmen akan: menampilkan wajah polri yang tegas tapi humanis, layanan publik yang transparan dan berkeadilan, penegakan protokol kesehatan, dan mengawal pertumbuhan ekonomi.

Isu SARA, Tantangan bagi Kapolri

Isu SARA yang dilakukan oleh Abu Janda telah mencapai klimaksnya. Sebab seluruh stake holders, mulai dari Ormas, OKP, hingga anggota legislatif lintas partai politik telah sepakat dan mendukung Polri agar warga Negara seperti Abu Janda dkk harus ditindak tegas. Tidak boleh ada warga Negara yang merasa diri kebal hukum, termasuk dalam penanganan kasus SARA ini. Jika demikian, maka isu tersebut sudah menjadi opini publik (public opinion). Kini, Abu Janda makin terpojok. Semua orang resah atas ulahnya yang terlalu sering membuat pernyataan kontroversial (kontradiktif dengan semangat Pancasila serta norma-norma yang berlaku). Bahkan sudah menjadi musuh bersama (common enemy). Jika demikian akan sangat berbahaya bagi bangsa ini jika tidak ditindak tegas, karena berpotensi memecah belah.

Apalagi yang membuat laporan polisi (LP) adalah organisasi sekaliber Dewan Pengurus Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia (DPP KNPI). Rumah bagi pemuda Indonesia yang terdiri dari berbagai latar belakang suku, agama, dan golongan yang berbeda. Tuntutannya, harus ada persamaan di hadapan hukum (equality before the law). ini jadi ujian bagi Kapolri dan seluruh jajarannya. Dilematis memang, tetapi hanya ada dua pilihan. Apakah Polri (penyidik) akan menyelesaikan kasus tersebut secara fair atau sebaliknya berdasarkan tekanan dari kekuasaan. Jika pilihan kedua, maka resistensinya terlalu tinggi. Konsekuensinya akan melawan opini publik (melawan sebagian besar stake holder). Dikatakan masih ada kemungkinan yang bersangkutan akan lolos dari jeratan hukum, sebab saat bersamaan juga Abu Janda tidak pernah merasa bersalah bahkan malah menantang balik para pelapor (KNPI). Sikap enteng Abu Janda tersebut disinyalir terdapat perlindungan besar (back-ingan kekuasaan). Jika demikian, Ini akan mencoreng semangat Presisi sang Patih.

Tetapi sesungguhnya seluruh masyarakat Indonesia, tak terkecuali KNPI menaruh harapan besar kepada Kapolri agar mengakhiri perseteruan yang tak berkesudahan ini. Sebab masyarakat Indonesia sudah jenuh dengan dikotomi politik dewasa ini.

Wajah baru institusi Polri di bawah komando Kapolri, Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo harus punya kemandirian yang berkeadilan tanpa ada tekanan dari pihak mana pun termasuk dalam penanganan kasus dugaan SARA oleh Abu Janda yang dijadwalkan akan diperiksa pada 1 Februari oleh penyidik Bareskrim Polri atas dugaan melanggar Pasal 45 ayat (3) juncto Pasal 27 ayat (3) dan/atau Pasal 45 A ayat (2) juncto Pasal 25 ayat (2) dan/atau Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Kebencian atau Permusuhan Individu dan/atau Antar Golongan (SARA), Pasal 310 dan/atau Pasal 311 KUHP.

Setidaknya kasus dugaan SARA yang dilakukan oleh Permadi Arya menjadi titik awal bagi Kaplori agar menegakan hukum secara transparan dan berkeadilan sebagaimana salah satu dari empat pendekatan di atas. Apakah penyidik kepolisian menetapkan Abu Janda sebagai tersangka menyusul koleganya Ambrosius Nababan? Nantikan penegakan hukum Kapolri dengan wajah Presisi. Ke depan masih ada kasus-kasus besar menanti.

Aris Munandar

Pos terkait