PENJURU.ID | OPINI – Di era digital saat ini, media sosial telah menjadi arena utama dalam penyebaran informasi dan kebebasan berpendapat. Platform seperti Twitter X, Facebook, dan Instagram memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menyuarakan pandangan mereka, berpartisipasi dalam diskusi publik, dan mempengaruhi opini massa dengan cara yang belum pernah ada sebelumnya. Dalam konteks hukum tata negara, kebebasan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi, seperti yang diatur dalam Pasal 28E dan 28F UUD 1945, kini menemukan relevansi baru dengan kehadiran media sosial.
Namun, kebebasan berekspresi di dunia digital tidak sepenuhnya bebas dari tantangan. Banyak negara, termasuk Indonesia, masih mencari keseimbangan antara kebebasan berpendapat dan tanggung jawab sosial dalam menjaga stabilitas nasional. Salah satu tantangan utama adalah bagaimana media sosial dapat menjadi alat penyebaran disinformasi, ujaran kebencian, dan berita palsu yang berdampak pada polarisasi masyarakat dan melemahkan demokrasi. Hal ini menunjukkan perlunya regulasi yang lebih ketat tanpa mengorbankan kebebasan berekspresi (Chicago Journal of International Law, 2024).
Sejumlah studi menunjukkan bahwa media sosial berfungsi sebagai katalisator dalam penyebaran informasi. Namun, penting untuk diingat bahwa platform ini juga diatur oleh algoritma yang menentukan apa yang dilihat oleh pengguna. Algoritma tersebut dirancang untuk mempertahankan perhatian pengguna dan sering kali memprioritaskan konten yang memicu emosi, seperti kemarahan, yang dapat memperburuk polarisasi (Oxford Academic, 2022). Dengan demikian, algoritma tidak hanya sekadar alat teknis, tetapi juga menjadi aktor penting dalam membentuk ruang kebebasan berpendapat di era digital.
Peran negara dalam mengatur kebebasan berpendapat di media sosial semakin penting, terutama mengingat potensi penyalahgunaan kebebasan ini untuk tujuan negatif. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) di Indonesia, misalnya, merupakan salah satu instrumen hukum yang digunakan untuk mengatur penyebaran informasi di internet. Namun, penerapan UU ini sering kali menuai kritik karena dianggap membatasi kebebasan berekspresi secara berlebihan, terutama terkait pasal-pasal yang mengatur penghinaan dan pencemaran nama baik.
Untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan keamanan nasional, diperlukan regulasi yang lebih tepat dan adil. Negara harus memastikan bahwa kebebasan berbicara tetap dihormati, sementara mekanisme kontrol yang efektif perlu diterapkan untuk mencegah penyebaran konten yang merusak tatanan sosial dan politik (Chicago Journal of International Law, 2024).
Secara keseluruhan, peran media sosial dalam kebebasan berpendapat sangat signifikan di era digital ini. Namun, kebebasan tersebut harus dikelola dengan hati-hati agar tidak menimbulkan konsekuensi negatif bagi masyarakat dan demokrasi. Hukum tata negara perlu beradaptasi dengan dinamika digital yang terus berubah, dengan tetap menghormati prinsip-prinsip hak asasi manusia dan kebebasan berpendapat.
Penulis :
Suwandi (Mahasiswa Prodi PPKn Universitas Pamulang)
Setiawati, S.Pd.,M.H. (Dosen Prodi PPKn Universitas Pamulang)