Kontroversi Pernyataan “Wartawan Bodrex”, Menteri Desa Perlu Lebih Bijak dalam Berkomentar

PENJURU.ID – Pernyataan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Yandri Susanto, yang menyebut adanya “wartawan bodrex” menuai kontroversi di kalangan pers dan aktivis. Istilah tersebut digunakan untuk menggambarkan oknum yang diduga melakukan pemerasan terhadap kepala desa. Meski Yandri telah memberikan klarifikasi bahwa ia hanya menyinggung oknum tertentu, banyak pihak menilai pernyataannya bisa berdampak negatif terhadap profesi jurnalis secara keseluruhan.

Antara Fakta dan Stigma

Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam dunia jurnalistik dan aktivisme, memang ada oknum yang menyalahgunakan profesi mereka untuk keuntungan pribadi. Modus seperti pemerasan kepada pejabat atau kepala desa dengan ancaman pemberitaan negatif adalah praktik yang mencoreng nama baik wartawan yang bekerja secara profesional.
Namun, generalisasi dengan istilah “wartawan bodrex” bisa menjadi bumerang. Hal ini dapat merugikan jurnalis independen yang bekerja dengan integritas serta membuat publik meragukan kerja pers dalam mengawasi penggunaan dana desa. Padahal, pers memiliki peran penting dalam memastikan transparansi dan akuntabilitas pemerintah.

Perspektif Jurnalis: Kritik Harus Tepat Sasaran

Menanggapi kontroversi ini, Jurnalis Penjuru.id, Ridwan A. Basit, menyampaikan pandangannya.
“Mengkritik oknum yang menyalahgunakan profesi itu sah-sah saja, tapi istilah yang digunakan sebaiknya tidak menyudutkan profesi secara keseluruhan. Wartawan yang bekerja dengan benar justru berperan sebagai garda terdepan dalam menjaga transparansi dan keadilan. Pemerintah dan media seharusnya bisa membangun sinergi yang sehat, bukan saling menstigma,” ujarnya.
Menurut Ridwan, pemerintah harus lebih selektif dalam menyampaikan kritik terhadap profesi tertentu agar tidak memicu kesalahpahaman di masyarakat.

Peran Pers dalam Mengawal Kebijakan Publik

Di era keterbukaan informasi, pers memiliki tugas besar dalam mengawasi jalannya pemerintahan, termasuk penggunaan dana desa. Alih-alih saling menyerang, kolaborasi antara media dan pemerintah dalam memberantas oknum nakal seharusnya menjadi solusi utama.
Kejadian ini menjadi pengingat bahwa komunikasi publik dari pejabat negara harus lebih hati-hati agar tidak menimbulkan kesalahpahaman. Wartawan yang bekerja dengan profesionalisme tetap harus dihormati, sementara upaya pemberantasan oknum nakal harus terus dilakukan demi menjaga kepercayaan publik terhadap media dan pemerintahan.***

Pos terkait