Legenda Ciung Wanara dalam Nilai-Nilai Perspektif Sejarah

PENJURU.ID | Jakarta – Kisah ini berawal ketika, Wretikandayun naik takhta tanggal 23 Maret 612 M, tak lama kemudian, pusat kerajaan yang semula di Mdang Jati, (Mdang Ghana), yang terletak di daerah segitiga Bandung-Sumedang-Ciamis, kemudian dipindahkan ke ibukota baru, “Galuh”, letaknya di Desa Karang Kamulyan, Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Kerajaan Mdang Jati dan Galuh ini, merupakan “vazzal”, atau “up praja” alias bagian dari kerajaan besar Tarumanagara. Oleh karena itu, “Manuskrip Carita Parahyangan”, berbahasa Sunda yang ditulis pada awal abad ke-16 M, menyebut munculnya kerajaan Galuh dirintis oleh Wretikandayun.

Wretikandayun, lalu digantikan putera ketiganya, Rakeyan Mandiminyak gelarnya, “Prabu Suragana” (702-709), kemudian Rakeyan Bratasenawa/Sena (709-716), Rakeyan Purbasora (716-723), Rakeyan Jamri (Rakai Sanjaya), gelarnya Rahyang Sanjaya Harisdarma (723-724), berkedudukan sebagai Maharaja Galuh dan Sunda.

(Catatan: adapun gelar bangsawan tempo doeloe, disebut “Rakai”, berlaku di daerah Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Sedangkan “Rakeyan”, berlaku di Jawa Barat. Gelar “Bhre”, pada zaman Majapahit. “Sir”, dan “Lord” dari Inggris.“Don”, Portugis dan Spanyol, serta “Baron”, Jerman dan Belanda).

Sanjaya yang berkuasa Galuh, digantikan oleh Rekeyan Adimulya Permanadikusuma (724-725), lalu Rakeyan Panaraban atau Tamperan Barmawijaya (725-739), sebagai Maharaja Galuh dan Sunda. Dilanjutkan oleh Surattoma atau Sang Manarah alias ‘Ciung Wanara’, dengan gelar resminya adalah, Prabu Jaya Prakosa Mandaleswara Salakabhuana”, (740-783 M), berkedudukan sebagai penguasa Galuh.

Surattoma (Ciung Wanara), merupakan putra Rahyang Adimulya Permanadikusuma, raja Galuh yang terbunuh oleh seorang patih utusan Tamperan Barmawijaya. Sedangkan Ibu Manarah adalah Dewi Naganingrum, cucu Wretikandayun. Setelah Adimulya Permanadikusuma tewas, Dewi Naganingrum lalu dijadikan istri kedua Tamperan Barmawijaya, yang menjadi raja Galuh ((725-739 M).

Menelisik : “Buku Pakuning Alam”, rujukan sejarah Kabuyutan Cipaku dalam tradisi lisan, Surattoma dibesarkan oleh kakeknya dan neneknya, “Arya Bimarksa”, putera Jantaka, (Jantaka merupakan putera kedua Wretikendayun dan Istrinya Ratu Komalasari).

Saat menginjak remaja, Surattoma melakukan kudeta terhadap raja Tamperan Barmawijaya. Kudeta tersebut di dukung oleh kakeknya, Arya Bimaraksa, dibantu pasukan Tembong Agung, Sumedang dan Limbangan Garut

Kudeta Surattoma, dibalas oleh raja Sanjaya yang menewaskan hampir seluruh keluarga raja Purbasora. Tapi ada selamat, yakni Arya Bimaraksa, (Ki Balangantrang), yang bersembunyi di kampung kecil bernama Geger Sunten, letaknya di Desa Sodong, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.

Selama berada di tempat tersebut, secara diam-diam Ki Balangantrang dan para pengikutnya menghimpun kekuatan anti Sanjaya. Gerakan ini, mendapat dukungan raja-raja daerah Kuningan dan sisa laskar Indra Prahasta, sebab kerajaan mereka dilumatkan oleh Sanjaya tahun 716, karena telah bersekongkol dengan paman Sanjaya, “Purbasora”, dalam melengserkan raja Galuh, Bratasenawa/Sena, (ayah Sanjaya).

Surattoma lantas digembleng kakeknya, Ki Balangantrang sehingga mahir dalam strategi perang. Sebelum serangan dilaksanakan, pasukan telah dipersiapkan sebaik-baiknya. Perebutan kekuasaan itu diperhitungkan dengan sangat matang, yakni pada saat diselenggarakan pesta sabung ayam.

Penyerbuan dilakukan siang hari. Semua pembesar kerajaan hadir termasuk putera mahkota Galuh, (cucu Sanjaya), “Hariang Banga”, dalam gelanggang penyabungan ayam. Sedangkan Ki Balangantrang dipersiapkan untuk memimpin pasukannya di Geger Sunten, Ciamis.

Dalam “Babad Rucatan Darmaraja”, Sumedang, dijelaskan penyerangan tersebut dibantu pasukan Sumedang dan Limbangan, yang telah digembleng keprajuritan di Citembong Girang, Sumedang, dibawah komando Wiradikusumah, putera Purbasora dan Ratu Komara. Endingnya, kudeta berhasil dalam waktu singkat, Galuh dapat dikuasai.

Sedangkan dalam pertempuran antara putra mahkota Hariang Banga dan Surattoma, berakhir dengan dipukul mundurnya pasukan Hariang Banga. Bahkan dalam peristiwa itu, Raja Tamperan Barmawijaya terbunuh terkena panah sehingga Galuh dapat dikuasai pasukan gabungan Surattoma.

Sumber “Cerita Parahiyangan”, karya Pangeran Wangsakerta, yang ditulis oleh Abdurahhman, Edy Suhardi Ekajati. Penerbit Yayasan Pembangunan Jawa Barat, (1991), menjelaskan, mendengar berita putranya tewas, (Tamperan Barmawijaya), Raja Sanjaya sangat marah sekali, segera diperintahkan pasukan kerajaan Mdang (Mataram Kuno) untuk menyerbu ibukota Galuh, dengan 4 kekuatan besar, yaitu

Pasukan 1,
Dengan nama sandi “Tomara Sakti”, mengandung arti kekuatan yang luar biasa, dipimpin langsung oleh Raja Sanjaya,

Pasukan 2,
Dengan nama sandi “Samberjiwa”, dipimpin putera mahkota Rakai Panangkaran, kelak menjadi raja Mdang (Mataram Kuno), bergelar “Sri Maharaja Panangkaran Dyah Pancapana”, (746-784 M).

Pasukan 3,
Dengan nama sandi “Bhairawa-Mamuk” dipimpin oleh Panglima Jagat-Bhairawa, dan

Pasukan 4
Dengan nama sandi “Bhatarakroda”, dipimpin oleh Panglima Langlang Sebrang.

Perang saudara keturunan Wretikandayun meletus, namun ketika pasukan Surattoma mulai terdesak, perseteruan, dihentikan atas prakarsa rajaresi Demunawan, yang sudah berusia 93 tahun. Perundingan gencatan senjata digelar di keraton Galuh pada tahun 739 M.

Kesepakatanpun tercapai: Galuh diserahkan Surattoma, dan Sunda diserahkan Hariang Banga. Dengan demikian Sunda-Galuh dari tahun 723 hingga 739 M, wilayahnya terpecah menjadi dua.

Untuk menjaga agar tak terjadi perseturuan berkelanjutan, Surattoma dan Hariang Banga dinikahkan dengan kedua cicit Demunawan. Surattoma memperistri Dewi Kancanawangi, berkedudukan di kerajaan Galuh dengan gelar “Prabu Jaya Prakosa Mandaleswara Salakabhuana”. Sedangkan Hariang Banga mempersunting adik Kancanawangi, bernama Dewi Kancanasari, berkedudukan di Sunda dengan gelar “Prabu Kertabhuwana Yasawiguna”.

Prabu Jaya Prakosa di usia senja melakukan “Manu Raja Suniya”, ke Darmaraja, Sumedang sehingga disebut sebagai “Raja Udik”, artinya kembali ke tempat asalny. Kerajaan Galuh kemudian diserahkan kepada menantunya “Guruminda”, (799-806), yang telah mempersunting puterinya, Dewi Purbasari.(Red. Fiyan)

Jakarta, 14 September 2022.
Penulis: Joko Darmawan.
History Bagian – 1

Foto : Pagar situs Pangcalikan atau Singgasana Raja, yang terletak di Desa Karangkamulyan, Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.

Pos terkait