Jakarta – Pasca pelantikan Prabowo sebagai Presiden periode 2024-2029, terdapat perubahan signifikan dalam lanskap pemberantasan korupsi di Indonesia. Salah satu perubahan yang mencolok yaitu peran Kejaksaan yang semakin menonjol dalam proses penggeledahan kasus-kasus tindak pidana korupsi, Rabu (30/10/2024).
Sebuah tugas yang selama ini lebih banyak dijalankan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam upaya memperkuat pemberantasan korupsi, Kejaksaan kini diberi wewenang yang lebih luas untuk mengambil tindakan penggeledahan secara mandiri, khususnya dalam kasus korupsi yang berkaitan dengan instansi pemerintah daerah dan kementerian.
Saidatun Nafilah, SH., MH Mengatakan Langkah ini disebut sebagai bagian dari strategi pemerintah Prabowo untuk mengefektifkan penindakan dan mempercepat proses pengungkapan kasus-kasus besar.
“Langkah mandiri Kejakasaan tentu bentuk profesionalitas dari penegak hukum dalam menjalankan tugas dan fungsinya, sebagaimana yang disampaikan oleh Satjipto Rahardjo
dalam bukunya Hukum dan Perubahan Sosial (2009) yang mengemukakan bahwa lembaga penegak hukum harus memiliki otonomi yang jelas agar mampu menjalankan tugas secara independen dan tidak terpengaruh oleh intervensi,”Ujar Saidatun Nafilah, SH,. MH.
Kemandirian ini, Saidatun Nafilah, SH., MH menegaskan bahwa akan memastikan proses hukum berjalan sesuai dengan prinsip keadilan dan kebenaran, bukan berdasarkan kepentingan pihak tertentu. Namun di lain pihak, langkah ini dinilai akan berpotensi tumpang tindih antara Kejaksaan dan KPK dalam penanganan kasus-kasus korupsi terkait dengan asas speciality principle yang dimiliki oleh KPK dan asas duality principle di Kejaksaan.
“Potensi tumpang tindih muncul ketika kasus yang ditangani Kejaksaan memiliki kompleksitas atau dampak yang masuk kriteria KPK. Tanpa koordinasi yang baik, hal ini dapat memunculkan masalah overlapping, terutama dalam tahap penyidikan dan penggeledahan,”Kata Ia.
Saidatun Nafilah, Juga mengatakan, Kedua lembaga berwenang melakukan penyidikan, tetapi peran KPK memerlukan persetujuan Dewan Pengawas untuk tindakan seperti penggeledahan (Pasal 47 UU KPK), sedangkan Kejaksaan tidak memiliki pengawasan serupa, sehingga bisa terjadi perbedaan pendekatan dalam penanganan.
Selain itu, Saidatun Nafilah menyebut bahwa dalam aspek koordinasi penanganan, UU KPK (Pasal 6 huruf b) menyebut bahwa KPK berkewajiban berkoordinasi dengan instansi penegak hukum lain, termasuk Kejaksaan. Meski ketentuan ini ada, tanpa pembagian kasus yang jelas, koordinasi ini bisa terganggu jika kasus dianggap masuk wewenang kedua lembaga.
“Berdasarkan asas due process of law, penegakan hukum seharusnya mengutamakan prosedur yang sah dan jelas antar-lembaga. Idealnya, pembagian peran dilandasi pada asas subsidiarity (pengutamaan KPK untuk kasus besar dan Kejaksaan untuk kasus lainnya) dan ne bis in idem (larangan pengulangan penyidikan pada kasus yang sama oleh dua lembaga berbeda), “Jelasnya.
Selain itu, Saidatun Nafilah mengatakan, asas kemandirian lembaga penegak hukum (Pasal 3 UU KPK) menegaskan bahwa KPK dan Kejaksaan harus mampu menjalankan tugasnya tanpa saling mengintervensi. Namun, ketika koordinasi sulit dicapai, independensi ini bisa terganggu, sehingga meningkatkan potensi konflik kewenangan.
“Untuk mencegah tumpang tindih, diperlukan mekanisme pembagian kasus yang lebih tegas, misalnya melalui Peraturan Pemerintah, sehingga setiap kasus korupsi dapat dibagi sesuai skala dampak dan karakteristiknya. Selain itu, penguatan koordinasi dan konsultasi antara KPK dan Kejaksaan sejak awal penanganan kasus sangat penting, misalnya dengan panduan bersama untuk menetapkan kasus mana yang masuk dalam kewenangan masing-masing lembaga, “Pungkasnya.
Dengan demikian, meskipun potensi tumpang tindih ada, langkah-langkah dan asas hukum yang ada seharusnya bisa mengurangi risiko ini jika kedua lembaga mengedepankan koordinasi dan pembagian tugas yang jelas.
Devied
Sumber : Dewan Pengawas AWIBB Bekasi Raya, Saidatun Nafilah, SH., MH.