Industri Komik di Indonesia

PENJURU.ID|BANDUNG – Komik Indonesia pernah menjadi Tuan Rumah di negeri sendiri pada masa tahun 1970 hingga pertengahan 1980.Mengapa setelah periode itu industri komik Indonesia mati enggan, hidup pun susah?! Padahal hingga sekarang sudah 4 dekade! Ke manakah gerangan industri komik Indonesia?

Untuk memberikan sudut pandang dari perspektif lain yang telah ada, mari sejenak meluangkan waktu menengok pada sejarahnya.

Komik modern di Indonesia muncul sekitar 1930-an. Pada waktu itu, komik masih berupa gambar strip bersambung yang dimuat dalam surat kabar dan majalah. Baru sekitar 1950-an, komik Indonesia tampil dalam bentuk buku.
Sekitar akhir tahun 1940an, banyak komik-komik dari Amerika yang disisipkan sebagai suplemen mingguan suratkabar. Diantaranya adalah komik seperti Tarzan, Rip Kirby, Phantom and Johnny Hazard.

Popularitas tokoh-tokoh komik asing mendorong upaya mentransformasikan beberapa karakter pahlawan super itu ke dalam selera lokal. R.A. Kosasih, memulai kariernya dengan mengimitasi Wonder Woman menjadi pahlawan wanita bernama Sri Asih. Terdapat banyak lagi karakter pahlawan super yang diciptakan oleh komikus lainnya,diantaranya adalah Siti Gahara, Puteri Bintang, Garuda Putih and Kapten Comet, yang mendapatkan inspirasi dari Superman dan petualangan Flash Gordon.

Generasi 1960-70-an

Adapatasi dari komik asing dalam komik Indonesia mendapatkan tentangan dan kritikan dari kalangan pendidik dan pengkritik budaya. Karena itu penerbit seperti Melodi dari Bandung dan Keng Po dari Jakarta mencari orientasi baru dengan melihat kembali kepada khazanah kebudayaan nasional. Sebagai hasil pencarian itu maka cerita-cerita yang diambil dari wayang Sunda dan Jawa menjadi tema-tema prioritas dalam penerbitan komik selanjutnya. R.A. Kosasih adalah salah seorang komikus yang terkenal keberhasilannya membawa epik Mahabharata dari wayang ke dalam media buku komik.

Generasi 1990-2000-an

Ditandai oleh dimulainya kebebasan informasi lewat internet dan kemerdekaan penerbitan, komikus mendapat kesempatan untuk mengeksplorasi gayanya masing-masing dengan mengacu kepada banyak karya luar negeri yang lebih mudah diakses. Selain itu, beberapa judul komik yang sebelumnya mengalami kesulitan untuk menembus pasar dalam negeri, juga mendapat tempat dengan maraknya penerbit komik bajakan.

Selain itu beberapa penerbit besar mulai aktif memberikan kesempatan kepada komikus muda untuk mengubah image komik Indonesia yang selama ini terkesan terlalu serius menjadi lebih segar dan muda.
Ada dua aliran utama yang mendominasi komik modern Indonesia, yaitu Amerika (lebih dikenal dengan comics) dan Jepang (dengan stereotype manga). (1)

***

Saat Hasmi memulai karier, jagat komik Indonesia dikuasai dua genre: silat dan roman remaja. Di genre roman remaja ada dua nama terkenal yakni Zaldy Armendaris dan Sim. Sementara di genre silat ada nama besar Ganes Thiar Santosa yang lebih dikenal dengan panggilan Ganes Th.

Saat itu, genre komik silat, baru naik daun berkat Si Buta dari Gua Hantu karya Ganes. Tak heran jika komikus muda seperti Hasmi membuat komik silat juga untuk memasuki industri komik. Ganes adalah tonggak penting dalam genre ini, meski ia bukanlah pembuka jalannya.

Dalam kilasan sejarah budaya pop Indonesia, pernah ada suatu masa saat komik bikinan komikus lokal merajai pasar dalam negeri. Pada 1970-an, setelah lewat masa rintisan oleh angkatan Raden Ahmad Kosasih dan Taguan Hardjo, komikus lokal berjaya di negeri sendiri. Mereka bahkan cukup mengimbangi komik dari Amerika.

Komik Indonesia telah banyak menyumbangkan bahan bacaan hiburan kepada sebagian masyarakat Indonesia. Bahkan pada tahun 1970-an komik Indonesia merajai kebutuhan akan hiburan yang ada. Perkembangan yang pesat dari dunia komik Indonesia telah memacu para komikus untuk membuat berbagai jenis dan ragam komik. Pada dekade itu, buku komik sempat hadir di berbagai toko besar maupun kecil, bahkan buku komik selalu tersedia dan dijual pada kios kecil di setiap stasiun bus maupun kereta.

Berbagai komik di Indonesia mempunyai musim waktu penjualan yang unik. Dalam bulan puasa atau liburan sekolah, penjualan komik meningkat. Hal ini menandakan bahwa komik dicari dan dibaca pada waktu tertentu, sebagai bacaan hiburan dikala senggang.
Keberadaan komik Indonesia masih diragukan dan dibatasi.

Media gambarnya dianggap belum setara dengan media seni lain. Komik Indonesia juga memiliki tokoh komik, tapi kebanyakan cepat menghilang dan tidak mampu bertahan. Salah satu sebabnya adalah kurangnya tokoh tersebut untuk beradaptasi dengan konteks perkembangan sosial politik, dan ekonomi pembacanya. (2)

Akan tetapi pada tahun 1970, komik Indonesia mengalami penurunan. Hal itu disebabkan oleh banyaknya komik terjemahan dari Eropa dan Jepang yang membanjiri dan mendesak pasar komik lokal. Komik terjemahan itu hadir dengan bentuk dan gaya percetakan yang lebih modern dan diterbitkan oleh penerbit besar. Komik Indonesia kemudian kalah dalam persaingan.

Kenyataan itu ditambah lagi dengan menjamur dan tersedianya berbagai fasilitas hiburan pengganti komik. Kondisi ini makin parah terjadi pada awal tahun 80-an. Penurunan itu disebabkan oleh banyaknya komik terjemahan yang berasal dari Eropa, Jepang dan ditambah dengan komik dari Hongkong yang membanjiri dan mendesak pasaran di Indonesia.

Diawali dengan semangat untuk melawan hegemoni komik-komik dari luar Indonesia, muncullah komik-komik independen (lokal). Mencoba tampil berbeda, membuat gaya gambar lebih variatif dan eksperimental. Banyak komikus-komikus indie (independen) mengandalkan mesin fotokopi untuk penggandaan karya-karya mereka.

Sistem distribusi paling banyak dilakukan di pameran komik, baik dengan jalan jual-beli atau barter antarkomikus. Tak jarang ada komikus yang menghalalkan karyanya untuk diperbanyak dan disebarluaskan, dengan motto ‘copyleft’ (lawan dari copyright atau hak cipta). Tentunya tidak untuk tujuan komersial. (1)

Era Digital

Era digital komik Indonesia dimulai pada periode setelah 2000an atau periode setelah reformasi. Karena makin mudahnya akses internet, banyak para komikus Indonesia masa kini lebih berfokus membuat dan menyebar luaskan karyanya secara digital. Banyak dari komikus pada periode ini bekerja secara independen, tidak bergantung pada penerbit besar, dan cenderung memproduksi serta menyebarkan karya dalam komunitas terbatas.

Ada beberapa alasan mengapa kemunduran ini terjadi. Salah satunya adalah kalah bersaing di toko-toko buku yang membuat para komikus tanah air ‘bergerilya’ secara indie.
Namum kondisi seperti ini justru menimbulkan hal baru. Sulit mengukur kepopuleran komik indonesia masa sekarang? Apa yang menjadi tolok-ukurnya karena distribusinya yang tersebar diberbagai toko online, komunitas.
Hal ini berbeda dengan era tahun 70 hingga 80an yang terpusat pada penerbit-penerbitnya dengan menghitung tiras bisa diukur tingkat kepopuleran sebuah judul komik.

Sebab-musabab utama kemunduran industri komik Indonesia.

Pada periode 1980-an, dunia perkomikan Indonesia memasuki masa yang suram. Serbuan komik dari negara lain seperti Amerika, Jepang, Hong Kong dan Eropa serta dibarengi dengan berkurangnya karya komikus Indonesia yang diterbitkan. Hal ini sejalan seperti yang disimpulkan oleh www.tirto.id,

Masa jaya itu berlalu dengan cepat memasuki 1980-an, ketika komik Jepang mulai membanjiri toko-toko buku Indonesia. Meski bukan musabab tunggal, kejayaan komik silat dipurnakan olehnya. (2)

Kelangkaan komik-komik lokal menjadi ladang subur bagi para pengimpor komik-komik produk asing. Sehingga Generasi milenial terputus dengan Golden Era. Generasi milenial euphoria dengan komik manga, baik visual maupun nuansa dan cita rasanya beraroma manga.

Meskipun demikian masih ada yang melanjutkan tongkat estafet golden era. Bahkan Hans Jaladara masih produktif dan dalam pemasarannya memanfaatkan aplikasi-aplikasi toko online juga pada website milik beliau sendiri.

Banyak alasan mengapa kemunduran ini terjadi. Meskipun beberapa penerbit major tanah air pernah mencoba mewadahi karya-karya para komikus lokal, tetapi hal inipun tidak menolong.Komik-komik lokal tetap tidak mampu bersaing dengan komik-komik impor.

Padahal dalam hal visual komikus-komikus lokal tidak kalah oleh luar, hanya saja dalam penceritaan tidak mendapat perhatian khusus dan kurang menyadari pentingnya peran cerita.
Bagi para pembaca komik-komik impor, akan banyak menemukan kemiripan cerita pada komik-komik lokal. Hal ini yang membuat komik lokal tidak mampu bersaing dengan komik-komik produk impor.

Kenyataannya dan dalam sejarahnya, industri komik hadir dengan bentuk yang sarat oleh plagiarisme. Hal ini terus berlangsung hingga sekarang. Popularitas tokoh-tokoh komik asing mendorong upaya mentransformasikan ke dalam komik di Indonesia. Ini adalah pengulangan sejarah awal keberadaan komik di Indonesia. Itulah faktor utama mengapa komik Indonesia tidak mampu bersaing dengan komik-komik impor.

Kemudian timbul pertanyaan, apakah perlu komik produksi lokal bersaing dengan komik produk luar? Siapa yang berkepentingan dalam hal ini?

Sebenarnya bukan berkompetisi masalah besarnya, tetapi serbuan budaya asing yang menjadi ancaman jati diri bangsa. Dengan membanjirnya komik-komik dari luar maka budaya bangsa sendiri semakin tergerus. Dan itu telah terjadi!

Ironinya penerbit-penerbit besar komik di Indonesia dan para importir komik, tidak memandang komik sebagai budaya, tetapi sebagai ladang bisnis semata.
Sedikit Identitas budaya bangsa dapat ditemukan dalam komik Indonesia. komik-komik plagiarisme yang lebih banyak beredar.

Handi Yawan mengajak berbagai pihak yang punya kepedulian terhadap budaya sendiri. Mari kita tinggalkan praktek plagiarism dan mulai membangun keorisinilan karya agar komik Indonesia memiliki identitasnya sendiri.
Mari kita pahami, bentuk plagiat itu seperti apa? Sebagai contoh Godam dan Gundala meskipun adaptasi tokoh-tokoh superhero marvel atau Detective Comic (DC). Ada nuansa Indonesia dan tentu saja bercita rasa Idonesia sehingga bisa diterima.

Meskipun sudah dibuat membumi sekali pun, tak bisa dipungkiri bahwa komik adisatria tetaplah buah budaya Barat.

Sri Asih adalah sosok bernama Nani. Jika mengucapkan kata sakti Dewi Asih, ia berubah menjadi perempuan super yang kebal senjata dan bisa terbang. (2)
Terdengan seperti pahlawan Super Shazam!

Seiring dengan lewat masa-masa produktif dan berpulangnya sang maestro Ganes TH, Djair WP dan Teguh Santosa, turut senjakala pula industrinya. Selanjutnya yang tinggal adalah epigon-epigonnya saja.

Keberhasilan Si Buta dari Goa Hantu, Jaka Sembung, Panji Tengkorak tidak mampu diikuti oleh tokoh-tokoh silat epigonnya.
Demikian pula tinggal para pahlawan super Indonesia yang merupakan plagiat dari Spiderman, Superman, Batman dan lain-lain.

Lama-kelamaan para epigon yang tidak memiliki kekuatan bercerita menjadi membosankan dan akhirnya tinggal kenangan.

Solusi

Kita belajar mengapa nama-nama itu layak disebut maestro dan telah memberikan warna, identitas pada komik Indonesia.

Tak Ingin Jadi Epigon Bolehlah dikata, Hans Jaladara menganggit komik silat karena mengikut musim mekarnya genre itu. Penerbitnya lah yang mengarahkannya alih haluan. Sebagai komikus yang masih hijau, ia tak bisa ambil langkah lain kecuali ikut saja. “Saya diminta membuat komik seperti Jan, Budianta. Tapi saya tidak mau meniru. Tapi ada yang mengatakan komik saya berwajah Jan,” kata Hans.

Sebagai kawitan, Hans membikin Drama di Gunung Sanggabuana dalam satu jilid tamat. Barulah kemudian ia menggubah Panji Tengkorak pada 1968. Sebagaimana diakuinya, ia tak ingin jadi epigon Ganes TH dengan Si Butanya. Karena itulah desain karakter Panji Tengkorak ia bikin sebagai antitesis Si Buta. Sementara Si Buta berambut panjang awut-awutan, Panji Tengkoraknya berambut pendek; jika Si Buta berpakaian rapi dari kulit ular, maka sang Panji berbaju compang-camping.

Pembeda lain karya Hans dengan komik silat lain adalah kuatnya drama dalam plotnya. Komik silat masa itu jamak menggunakan pembalasan dendam sebagai penggerak cerita dan motivasi para tokohnya. Hans mengambil jalan lain dengan memasukkan unsur drama, terutama kemelut cinta, dalam karya-karyanya.

Pendekar-pendekar Hans jelas beda dengan Si Buta. Sementara Si Buta mampu menuntut tuntas dendamnya dan move on dari cinta masa lalunya kala berkelana, tokoh-tokoh Hans membawa luka hati itu ke mana pun kaki melangkah. Atas pencapaian ini Arswendo memuji Hans, Ditopang dengan ketekunan dan kerapian goresannya tidak menjadi sembrono seperti banyak jenis silat yang lain Hans pantas berada dalam daftar komikus terkemuka seperti Jan Mintaraga, Ganes TH, maupun Teguh Santosa. Ini juga membuktikan bahwa penyamarataan mutu komik secara keseluruhan sering meleset. Ternyata masih mungkin menemukan butiran berharga dari lautan produk yang kira-kira sejenis.

Nasionalisme dan Religiusitas Dari segi keindahan dan ketepatan, komik-komik Djair masih kalah unggul dibanding bikinan Ganes TH atau Teguh Santosa. Di antara komik-komik genre silat pun semesta yang dibangun Djair tak seberapa luas karena Jaka Sembung bukanlah petualang. Tapi, tentu Jaka Sembung tak akan jadi fenomenal kalau ia tak punya kelebihan. Menurut Anton Kurnia, ada dua hal yang membedakan Jaka Sembung dengan Si Buta atau Panji Tengkorak. Pertama, musuh utama Jaka Sembung bukan sekadar pendekar-pendekar golongan hitam, tapi kompeni VOC.

Terlebih itu bukan hanya perjuangannya seorang, tapi juga perlawanan kawan-kawannya dari berbagai golongan. Ada pendekar-pendekar dari Maluku, Papua, etnis Cina, dan bahkan Aborigin yang ikut berjuang bersama Jaka Sembung. Lain itu masih ada pendekar tunagrahita di kubunya.

Anton membaca unsur-unsur ini sebagai semangat nasionalisme yang berpijak pada penghargaan atas pluralitas. Pembeda kedua adalah kuatnya keislaman dalam alur kisah pendekar jago golok ini.

Keislaman itu muncul dalam banyak aspek, mulai dari motivasi perjuangan para karakternya, dialog, hingga segala atribut yang dikenakan. Dalam serial berjudul Wali Kesepuluh (1977), misalnya, Jaka Sembung yang dalam keadaan koma digambarkan bertemu dengan arwah Walisongo.

Nafas keislaman juga muncul dari ajian pamungkas si pendekar. Djair menamakannya jurus Wahyu Takwa. Ini adalah cara Djair menggambarkan aspek spiritual dari silat Nusantara. Baginya, betapapun kuatnya seseorang, ia akan mentok hanya jadi tukang pukul jika tanpa spiritualitas. Kekuatan spiritual adalah senjata utama Jaka Sembung, bukan golok atau tongkat yang sering ia gunakan. Ini jurus yang hanya dimiliki orang yang mempunyai tingkat ketakwaan tinggi. Tetapi, senjata ampuhnya adalah iman dan takwa, kata Djair sebagaimana dikutip Kompas.

Pengaruh dari cerita silat ala Cina ini adalah penekanan pada dikotomi nilai moral yang hitam putih. Pertarungan yang terjadi adalah antara si baik dan si jahat, pendekar golongan putih dan golongan hitam.

Dan pada akhirnya pihak baik selalu bisa mengatasi halangan dan mengalahkan si jahat. Gaya seperti ini mulai mengalami pergeseran sejak Ganes Th menerbitkan seri pertama Si Buta dari Gua Hantu pada 1967. Latar negeri Cina berganti dengan lanskap perdesaan dan hutan di pedalaman Banten. Jurus-jurus Barda Mandrawatanama asli Si Butajuga bukan kungfu, melainkan silat Betawi. Plotnya tak lagi digerakkan oleh cita-cita menegakkan kebenaran, melainkan balas dendam.

Gaya baru yang dibawa Ganes mendulang sukses besar. Komiknya laku hingga ratusan ribu eksemplar dan melahirkan epigon yang kelewat banyak. Arswendo memastikan, bom komik silat meledak dari sini dan melahirkan beragam variasi.

Pembalasan dendam, sakit hati, dan banjir darah dalam pertarungan yang dibalut konteks Nusantara ternyata adalah resep jitu. Berkat resep itu, seri pertama Si Buta itu laku keras hingga ratusan ribu eksemplar. Nama Ganes TH pun melambung.

Para komikus mulai menjadikan Nusantara dan sejarahnya sebagai latar sebagaimana yang dilakukan Ganes TH. Resep Ganes TH itu diikuti oleh komikus silat lain seperti Djair Warni dengan Jaka Sembung-nya dan Hans Jaladara yang terkenal lewat seri Panji Tengkorak. Anton mencontohkan murid Jaka Sembung bernama Si Gila yang kisah kependekarannya mirip dengan Si Buta. Djair juga mengisahkan Jaka Sembung yang bertualang ke beberapa daerah Nusantara seperti Si Buta.

Bedanya, Djair mewarnai karyanya dengan napas perlawanan terhadap kaum penjajah asing dan nuansa Islam yang cukup kentara (simak misalnya episode Wali Kesepuluh),

Teguh adalah caranya bercerita yang filmis. Tak mengherankan, karena Teguh memang sering menjadikan film sebagai inspirasinya berkarya, pengaruh film itu terlihat dari caranya menampilkan adegan laiknya kamera statis.

Setiap panel komiknya pun disusun dalam sekuen-sekuen yang dinamis. 2Laiknya film, ia selalu memulai dengan suatu gambar long shot yang memotret seluruh medan perang. Dengan begitu pembaca dibuat akrab dulu dengan lingkungan. Setalah itu barulah ia “memindahkan kamera” kepada sudut pandang tokoh-tokoh yang terlibat.

Teguh juga piawai memasukkan adegan yang mungkin tidak penting dalam bangunan keseluruhan cerita, tapi dampak visualnya signifikan. … close up bahan peledak yang menggelinding sebelum meledak. …. komik-komik Teguh Santosa sangat berhak mendapat pembacaan yang lebih rinci dan teliti, tepatnya lebih bertanggung jawab, di mana bisa dimainkan berbagai teori budaya visual …. (2)

Apa yang telah dilakukan oleh senior-senior seperti Ganes TH, Djair dan Hans Jaladara, Teguh Santosa, kita jadikan role model untuk membangun karya-karya orisinil.

“Yang harus dipahami oleh komikus-komikus sekarang adalah, bahwa sebuah komik adalah buah sinergi antara visual dengan cerita. Salah satu lemah maka komiknya menjadi mubazir.” kata Handi Yawan saat di konfirmasi penjuru id ,Minggu (29/08/2021) melalui sambungan telepon.

“Seorang ilustrator kawakan sekalipun belum tentu mampu membangun sebuah cerita yang bagus. Oleh sebab itu ada baiknya seorang ilustrator berkerja sama dengan seorang penulis yang memiliki kekuatan dalam hal bercerita bila tidak memiliki kemampuan bercerita seperti para maestro itu.”tegasnya.

Itulah yang membuat Ganes TH, Djair, Hans Jaladara, Teguh Santosa, Wid NS, Hasmi mampu membuat komik berjudul-judul. Demikian pula dengan komik Tintin, Storm, Lucky Luke, Spiderman, Superman, Batman, hingga One Piece, Naruto dan lain-lain.
Cerita-cerita orisinil seperti itulah yang melambungkan komik-komiknya menjadi legenda.

Membangun cerita yang orisinil.
Bagaimana cara membangun sebuah cerita yang orisinil?

Pertama-tama harus dipahami, ada beda yang jelas antara terinspirasi dengan plagiat atau menjiplak. Tidak ada komikus yang tidak terinspirasi oleh yang lain. Namun bila inspirasi tersebut minimal mengandung 3 kesamaan dengan sumber yang menginspirasi nya maka itu sudah dapat dipastikan sebuah karya plagiat.

Lalu bagaimana kita bisa mendapatkan ide orisinil? caranya kita harus meningkatkan wawasan yang bisa kita peroleh dari:
Menonton Film.

Dengan menonton film banyak ide yang bis akita dapatkan. Misalkan film-film bergenre sci-fi banyak menyajikan misteri kunjungan alien ke bumi. Bisa saja kita membuat sebuah cerita yang alurnya sama.

Tetapi oleh orang yang berpikir kreatif akan dibalik situasinya. Bagaimana bila astronot dari bumi memngunjungi planet lain dan dianggap oleh penduduk planet itu, kitalah yang alien. Menarik bukan untuk dikembangkan menjadi pembalikan empati.

Membaca

Sama halnya dengan menonton film, membaca pun seperti membaca koran, majalah, buku atau komik maka di sini terjadi proses inspirasi. Lakukan kreatifitas berpikir agar cerita kita menjadi berbeda dari sumber yang telah menginspirasi karya kita.

Mendengarkan lagu.

Kegiatan yang kita sukai seperti mendengarkan lagu akan memancing timbulnya sebuah inspirasi, jelas inspirasi dari sebuah lagu akan menjadi orisinil karena dari sebuah pendengar lalu diolah dalam bentuk berpikir kemudian dituangkan secara visual dalam bentuk komik akan terhindar dari praktek plagiarisme.

Bergaul

Kegiatan ini akan memberikan inspirasi keseharian pada karya kita.
Tidak semua karya besar lahir dari karya-karya kolosal. Cerita-cerita sederhanapun bisa menjadi bernilai bila memiliki pesan moral.
Pesan-pesan moral tidak dituangkan secara verbal tetapi terkandung dalam cerita itu sendiri. Bila pembaca mampu menangkap pesan moralnya, maka itulah kesuksesan sebuah karya.

Mengamati sekitar

Seperti halnya Bergaul, maka mengamati sekitar juga sumber inspirasi yang tidak kalah penting.Bila kita sedang jenuh dan mandeg akibat tidak bisa menyelesaikan sebuah cerita. Pergilah ke luar dan lakukan kegiatan normal. Meskipun selama berkegiatan itu kita santai tapi tetap perhatikan dan amati sekeliling.

Hal-hal kecil yang terjadi dan kita lihat bisa jadi akan memberikan inspirasi.Jangan lupa selalu membawa catatan. Karena inspirasi itu daaing sembarang waktu dan sembarang tempat! Bila kita tidak sempat mencatatnya lalu lupa dan menguap, maka kita akan kehilangan sebuah ide yang sangat berharga karena datangnya tidak dua kali.

Wawasan yang memberi inspirasi, kita butuhkan karena cerita itu bukan sekedar menamatkan kisah. Tetapi ada nilai cerita berupa konflik yang mendramatisir sebuah cerita dan menjadikan sebuah cerita menjadi bernilai.

Harap diperhatikan mengembangkan konflik jangan sampai terjadi Plot Hole! Dan supaya lebih menarik gunakan gimmick pada plot twist.Gimmick berguna pada prolog supaya menjadi sebuah gimmick itu yang akan memancing dan menarik pembaca ingin menyelesaikan bacaannya hingga tamat.

Seperti apa itu konflik, plot hole, pola twist dan gimmick, ini akan dijelaskan pada artikel selanjutnya.

Saran

Selain silat, ada genre khas Indonesia yang potensial, yakni Wayang.
Sudah banyak komikus-komikus muda yang membuat komik dengan genre wayang, namun aroma asing masih kental. Mari kita benahi bersama jati diri bangsa yang satu ini.

Kita gali terus genre-genre lainnya. Demikian pula model Slice of life karena hidup setiap orang itu unik dan orisinil, sekali pun kembar.
Kata kuncinya adalah kreatif dan selalu ingin beda karena ngomik itu proses kreatifitas.

“Saya berharap Industri Komik Indonesia lekas bangkit dalam arti yang sebenarnya.” pungkas Handi Yawan .(Adi Penjuru)

Pos terkait