Saput Poleng:”Kedalaman Spiritual Ala Bali”

Saput Poleng:”Kedalaman Spiritual Ala Bali”

PENJURU.ID | TABANAN – Halaman awal buku monumental Emile Durkheim yang berjudul “The Elementary Form of Religious Life” membahas tentang warna sebagai bagian dari ciri ekspresif yang bersifat simbolik.

Bagaimana penggunaan warna tertentu mengandung arti dan pesan tertentu, atau warna dalam kebudayaan memiliki logos. Simbol merupakan sistem tanda yang terdiri atas petanda dan penanda.

Petanda adalah ide atau aspek mental dan penanda merupakan konsep-konsep atau aspek material, mengacu pada pandangan strukturalis antara konsep dan ide saling terjalin relasi arbriter atau hubungan yang dianggap terkait.

Melihat Bali sebagai sebuah pulau yang penuh dengan kekayaan seni, budaya dan alamanya, bahwa harus juga melihat apa (ide atau konsep) yang menjadikan Bali sebagaimana demikian kaya akan seni dan budaya.

Terkait dengan warna sebagai ciri ekspresif, salah satu yang dapat dilihat adalah pohon-pohon besar yang diikat oleh kain yang berwarna putih-hitan seperti papan catur atau disebut juga saput poleng.warna putih-hitam menjadi demikian mistik apabila melihat pohon tinggi besar dan lebat diikat kain poleng dan melintasinya di malam hari.

Kebanyakan yang percaya akan hal-hal mistik menjurus pada klenik akan memilih membunyikan klaksonnya. Lebih jauh lagi menjadikan pohon yang diikat kain poleng sebagai media untuk mendapatkan sesuatu hal yang diinginkan dengan menyiapkan berbagai sarana tertentu, mencerna hal ini, termin “Gaib” dapat dilabelkan.

Terlepas dari berbagai ide yang mengitari saput poleng ini ada baiknya mengetahui latar terdalam dari sebuah tentang poleng. Mengacu pada Holt (2000) pandangan dunia dapat diketahui melalui struktur dalam suatu masyarakat.

Pandangan dunia lebih merupakan pemorfulasi yang lebih sadar tentang pandangan-pandangan atas tatanan yang lebih universal. Mengetahui struktur dalam suatu masyarakat berarti juga mengetahui latar ide yang menggerakkan tatanan kebudayaan suatu masyarakat.

Pandangan suatu masyarakat tentang dunia kecilnya, tentang kosmos, relasi sosial dan ekologis, seturut tentang dunia sakralitas. Sejalan dengan itu Wulf dalam artikelnya yang berjudul “The Temporality of World-vieuw” menyatakan cara manusia atau masyarakat memandang Dunia adalah cara ia melihat dirinya sendiri, cara ia memahami dirinya sendiri adalah cara ia memahami dunia.

Pandangan tentang saput poleng dapat dilihat pertama secara penampakan, yaitu kontrasnya. Warna hitam dan putih bersifat kontradiksi namun diletakkan secara berdampingan, hal ini adalah pandangan dualistik-oposisional.

Hitam adalah penyanding dari putih, putih adalah oposisi dari hitam, lebih dalam lagi kehidupan terbagi atas dua hal yang saling bersanding seturut beroposisi. Pria hadir sebagai penyanding dari wanita dilain hal pria selalu beroposisi dengan wanita, pria dalah Phalus yang tegak wanita adalah “lobang” yoni, langit atau angkasa bersanding dan beroposisi dengan bumi.

Baik bersanding dengan buruk (ala-ayu), makrokosmos-mikrokosmos, keras-lembut, jiwa-raga. Bahkan dualitas oposisional ini dapat dikatakan dalam konsep linga-yoni sebagai akar dari keberadaan.

Ketika pembeda disandingkan, antara lelaki-perempuan, besar-kecil, batang-lubang, penis-vagina, keras-lembut, jiwa dan raga akan menimbulkan suatu keharmonisan atau kehidupan.

Sehingga dua daya tersebut selain bertegang juga bersinggungan membentuk kehidupan yang dinamis sekaligus harmonis. Dinamis adalah antara hitam dan putih membentuk gerak kehidupan yang heterogen, penuh potensi, dan probabilitas, bahwa kehidupan adalah keaktifan yang penuh vitalitas dan juga kepasifan yangbegitu tenang mendayu, keduanya saling bersinggungan penuh dinamika.

Harmonis dalam pengertian sama dengan prinsip keseimbangan, bahwa kehidupan adalah keselarasan antara hitam dan putih, jiwa dan raga, keras dan lembut, laki-perempuan, sekala-niskala.

Dinamika yang konfliktual antara kedua daya ini selalu mengacu pada prinsip keseimbangan, bagaimana kebudayaan Bali memandang Makhluk yang tidak kasat mata bukan merupakan musuh tetapi makluk yang tinggal di dunia yang berlainan dan harus saling menjaga kehidupan masing-masing.

Lokus sakral dan yang profan, klenik dan yang banal harus terus dijaga menuju gerak harmonisasi. Pohon besar dalam alam ide masyarakat Bali tidak hanya sebuah benda tanpa jiwa, tetapi merupakan bagian dari alam yang memiliki daya dalam membentuk kehidupan yang baik dan yang buruk, sehingga kedua daya itu harus diselaraskan.

Apabila kedua daya ini dalam kondisi instabil maka harus diadakan upaya untuk menngembalikanya menuju gerak stabil, salah satunya adalah dengan ritual.

Pandangan ini merupakan benih spirit kebudayaan Bali, yang melihat realitas sebagai dua hal yang bersanding sekaligus beroposisi namun selalu menuju pada gerak harmonis. Termasuk di dalamnya antara mitos dan logos, dalam lain pengertian bagi kebudayaan Bali, mitos tetap harus dipertahankan guna menjaga kesetaraan logos.

Mitos adalah cara pandang diluar pengetahuan objektif yang terukur, dan logos dalah pengetahuan objektif yang terukur. Mitos lebih bersifat instingtual, natural dan mental, yaitu terkait dengan Rasa, sedangkan logos bersifat rasional, antropogikal dan nalar yang terkait dengan rasio.

Keduanya adalah daya yang bersanding, berkonflik namun keduanya harus menuju ke arah harmonisasi agar keberlanjutan kebudayaan dapat dijaga. Inilah salah satu spirit Bali.

Penulis: Ida Bagus Made Satya Wira Dananjaya

Pos terkait