PENJURU.ID | Jakarta – Rencana Pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) merupakan hasil rapat yang masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), RUU HIP pertama kali diusulkan oleh Fraksi PDIP di Badan Legislasi (BALEG) pada tanggal 11 januari 2020.
Rieke Diah Pitaloka dari Fraksi PDIP di DPR ditunjuk menjadi Ketua Panitia Kerja (panja) RUU tersebut, Rapat dihadiri sebanyak 37 orang dari 80 anggota dewan yang ada dan juga menghadirkan pakar ketatanegaraan Prof Jimmly Asshiddiqie dan Prof FX Adjie Samekto.
Pada 12 mei 2020, DPR RI telah resmi menetapkan RUU itu menjadi program DPR dan menunggu persetujuan Presiden Joko Widodo untuk pembahasan selanjutnya.
RUU HIP berisi 10 BAB dan 60 pasal yang menimbulkan perdebatan di berbagai kalangan. MUI, NU, dan Muhammadiyah menentang RUU HIP karena dinilai telah mengabaikan TAP MPRS XXV/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia.
Menurut Maklumat Dewan Pimpinan MUI Pusat Nomor: Kep-1240/DP-MUI/VI/2020 menyatakan bahwa tidak dicantumkannya TAP MPRS XXV/1966 berarti sebuah bentuk pengabaian terhadap fakta sejarah PKI di Indonesia, sehingga dianggap sebagai pengkhianatan bangsa.
Fraksi PAN di DPR RI meminta agar RUU HIP dikeluarkan dari Prolegnas, lantaran banyaknya kritik dari masyarakat terkait RUU tersebut.
“Mendesak kepada seluruh pihak yang ada di DPR untuk mempertimbangkan ulang melanjutkan pembahasan ini, kalau perlu segera mencabut dari Prolegnas karna menurut kami sebetulnya bahwa Pancasila itu sudah final jadi tidak perlu ada lagi tafsir khusus dalam bentuk Undang-Undang.” Pungkas Saleh Daulay, Wakil Ketua Fraksi PAN. (16/06/2020)
Polemik permasalahan terdapat pada salah satu pasal yang dinilai bermasalah. Pasal tersebut Pasal 7 yang memiliki tiga ayat, yaitu:
(1) Ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/ demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan.
(2) Ciri Pokok Pancasila berupa trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan.
(3) Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong.
(AK)