Generasi Alpha dan Tantangan Pendidikan Kewarganegaraan di Era Digital

PENJURU.ID | OPINI – Generasi Alpha, yang lahir sejak tahun 2010, adalah generasi pertama yang sepenuhnya tumbuh dalam ekosistem digital. Kehidupan mereka sejak kecil tidak lepas dari gawai, internet, dan media sosial. Fenomena ini menimbulkan peluang sekaligus tantangan dalam menanamkan nilai-nilai kewarganegaraan. Berbeda dengan generasi sebelumnya, cara belajar mereka lebih visual, interaktif, dan cepat. Hal ini menuntut pendekatan pendidikan kewarganegaraan yang lebih relevan dengan pola hidup digital mereka.

Menurut survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2024, tingkat penetrasi internet di Indonesia mencapai 79,5% populasi, dengan jumlah pengguna lebih dari 221 juta jiwa. Angka ini terus meningkat, bahkan pada 2025 tembus 80,66% atau sekitar 229 juta pengguna. Fakta ini menunjukkan betapa internet telah menjadi ruang hidup mayoritas warga, termasuk anak-anak Gen Alpha yang kini duduk di bangku sekolah dasar dan menengah.

Bacaan Lainnya

Riset IMGR yang dilaporkan IDN Times (2026) mencatat anak-anak Gen Alpha di Indonesia rata-rata menghabiskan 2,8 hingga 3,5 jam per hari menggunakan gadget. Sementara survei detikInet (2024) menyebut anak usia 2–12 tahun menonton YouTube rata-rata 106 menit per hari. Data ini menegaskan bahwa ruang belajar mereka bukan hanya sekolah, melainkan juga platform digital yang penuh informasi sekaligus risiko.

UNICEF (2023) dalam laporan The State of the World’s Children in the Digital Age menyoroti bahwa anak-anak Indonesia menghadapi risiko serius berupa paparan konten tidak layak, misinformasi, dan perundungan daring. Artinya, pendidikan kewarganegaraan tidak cukup hanya mengajarkan hafalan Pancasila atau UUD 1945, tetapi juga harus mengajarkan literasi digital, etika bermedia, dan keterampilan memilah informasi.

Dalam perspektif teori civic education Branson (1998), ada tiga kompetensi utama yang harus dikembangkan: pengetahuan kewarganegaraan, keterampilan kewarganegaraan, dan disposisi kewarganegaraan. Bagi Gen Alpha, pengetahuan bisa diperoleh dari internet, tetapi keterampilan kritis dan disposisi moral tidak otomatis terbentuk. Di sinilah sekolah dan guru PKn berperan penting untuk mengarahkan penggunaan teknologi agar tidak sekadar konsumtif, tetapi produktif dan bermakna.

Sayangnya, pendekatan PKn di sekolah masih banyak yang konvensional: hafalan, ceramah, dan ujian tertulis. Model ini kurang menarik bagi Gen Alpha yang terbiasa dengan konten interaktif seperti video, gim, dan media sosial. Ketidaksesuaian metode pembelajaran ini berpotensi membuat mereka apatis terhadap isu kewarganegaraan. Jika tidak ada inovasi, PKn bisa dianggap membosankan dan tidak relevan dengan dunia nyata mereka.

Pendidikan karakter yang ditekankan pemerintah melalui Profil Pelajar Pancasila sejalan dengan kebutuhan Gen Alpha, tetapi implementasinya masih terbatas. Guru perlu didukung dengan pelatihan dan media pembelajaran digital. Misalnya, menggunakan simulasi daring tentang demokrasi, debat virtual, atau proyek berbasis masalah nyata di masyarakat. Hal ini sejalan dengan rekomendasi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (2022) yang mendorong pembelajaran berbasis proyek dalam Kurikulum Merdeka.

Tantangan lain adalah kesenjangan digital. Tidak semua anak Gen Alpha memiliki akses setara terhadap internet berkualitas. Menurut BPS (2023), rumah tangga di perkotaan memiliki akses internet 82%, sedangkan di perdesaan hanya 62%. Ketidaksetaraan ini membuat sebagian anak tertinggal dalam memperoleh literasi digital dan pendidikan kewarganegaraan berbasis teknologi. Jika tidak diatasi, kesenjangan ini dapat memperlebar jurang sosial dan partisipasi warga negara di masa depan.

Pendidikan kewarganegaraan untuk Gen Alpha harus diarahkan tidak hanya pada pemahaman hukum dan politik, tetapi juga keterampilan hidup sebagai warga digital. Literasi digital, kesadaran etika bermedia, serta keterampilan berkolaborasi dalam komunitas maya perlu diposisikan sebagai bagian dari civic skills. Dengan demikian, mereka siap menjadi warga negara yang kritis, etis, dan bertanggung jawab, baik di dunia nyata maupun dunia digital.

Jika Indonesia ingin memetik bonus demografi dan menyongsong visi 2045, maka generasi Alpha tidak boleh hanya cakap teknologi tetapi miskin karakter kewarganegaraan. Inovasi PKn adalah kunci agar mereka tumbuh sebagai generasi yang tidak hanya pandai mengakses informasi, tetapi juga mampu menyaring, merefleksikan, dan menggunakannya untuk kebaikan bersama. Dengan begitu, cita-cita menjadikan mereka warga negara yang cerdas sekaligus berkarakter bukan hanya retorika, melainkan kenyataan.

(Penulis: Susi, S.Pd.,M.Pd.)
Dosen Prodi PPKn Universitas Pamulang

Pos terkait