BOYOLALI – Desa Randusari, Boyolali, tengah menjadi perhatian setelah muncul kabar soal utang piutang yang melibatkan Kepala Desa Satu Budiyono. Isu ini berawal dari pembangunan gedung serbaguna yang sempat terhenti di periode kepeminpinan sebelumnya dan memunculkan pertanyaan warga mengenai penggunaan dana serta aset desa.
Pembangunan gedung serbaguna sebenarnya sudah direncanakan sejak masa kepemimpinan kepala desa sebelumnya. Gedung itu diharapkan menjadi pusat kegiatan masyarakat, mulai dari rapat desa hingga acara kebudayaan. Namun proyek sempat tersendat ketika terjadi pergantian kepemimpinan.
Saat Satu Budiyono mulai menjabat pada tahun 2013, ia menjadikan penyelesaian proyek non APBDes tersebut sebagai prioritas. Berbagai upaya ditempuh, mulai dari menggalang dukungan pabrik sekitar hingga mengalokasikan PAD Desa. Meski begitu, dana yang terkumpul masih belum mencukupi. Akhirnya, tanah kas desa hasil tukar guling pada tahun 1980 yang masih menjadi atas nama perorangan (belum atas nama pemerintah desa) dialihkan atas nama pribadi kepala desa agar bisa dijadikan agunan pinjaman bank daerah.
Menurut penuturan sejumlah perangkat desa, langkah itu diambil semata-mata untuk mencari jalan keluar agar pembangunan bisa selesai. Pada awalnya, pembayaran angsuran berjalan lancar.
Namun, pandemi Covid-19 yang melanda pada 2020 mengubah situasi. Usaha pribadi Satu Budiyono terdampak, sehingga pembayaran angsuran kredit mulai tertunda. Tunggakan pun menumpuk hingga pihak bank mengeluarkan surat peringatan wanprestasi dan merencanakan lelang atas tanah yang dijadikan agunan.
Kabar rencana lelang itu menimbulkan keresahan warga. Mereka khawatir tanah kas desa bisa hilang, padahal aset tersebut penting bagi generasi mendatang.
Sebagai bentuk tanggung jawab, Satu Budiyono menyatakan siap menjual sejumlah aset pribadinya untuk melunasi kewajiban utang. Warga menyambut baik langkah ini, dengan syarat proses dilakukan secara terbuka dan hasil penjualan langsung digunakan untuk menutup pinjaman.
Salah satu warga Randusari, Anto, menegaskan bahwa persoalan ini bukan karena niat buruk kepala desa, melainkan situasi sulit di tengah keterbatasan anggaran desa pada saat itu. Ia menilai yang terpenting sekarang adalah keterbukaan penuh agar kepercayaan masyarakat bisa kembali pulih.
Kasus di Randusari menjadi pelajaran penting bagi desa-desa lain di Indonesia. Pengelolaan aset bersama harus dilakukan secara hati-hati, transparan, dan akuntabel agar tidak menimbulkan persoalan di kemudian hari.
Ke depan, penyelesaian masalah ini membutuhkan kerja sama semua pihak—mulai dari pemerintah kabupaten, hingga masyarakat. Dengan itikad baik kepala desa, pengawasan warga, serta proses hukum yang jelas, diharapkan Randusari bisa keluar dari krisis tanpa harus kehilangan tanah kas desa.