Oleh: Ridwan Abdul Basit – Staff Humas Korps Indonesia Muda
Gelombang demonstrasi dengan slogan “bubarkan DPR” yang terjadi akhir Agustus lalu bukan sekadar ekspresi kemarahan sesaat, melainkan penanda krisis kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif. Ketika rakyat sudah berani menyuarakan hal ekstrem seperti itu, artinya ada jurang yang sangat lebar antara wakil rakyat dengan mereka yang diwakilinya.
Memahami bahwa kemarahan rakyat muncul dari rasa ketidakadilan. Di tengah kondisi ekonomi sulit, isu gaji dan fasilitas mewah DPR menjadi luka terbuka yang memicu reaksi emosional. Namun, membubarkan DPR bukanlah solusi. Secara konstitusi hal itu hampir mustahil dilakukan, dan secara politik justru berisiko memicu kekacauan lebih besar. Yang dibutuhkan bukan pembubaran, melainkan reformasi serius: transparansi anggaran, pengawasan publik, serta pembenahan etika politik anggota dewan.
Dari sudut pandang politik, fenomena ini juga menunjukkan adanya defisit representasi. DPR yang seharusnya menjadi corong rakyat justru dianggap menjauh. Hal ini memperkuat persepsi bahwa politik hanya menguntungkan segelintir elit. Jika dibiarkan, krisis kepercayaan ini bisa berujung pada delegitimasi sistem demokrasi itu sendiri.
Namun situasi ini juga bisa dilihat sebagai tantangan sekaligus peluang. Energi generasi muda jangan hanya habis untuk marah di jalanan. Saatnya pemuda mengambil peran nyata: memperkuat gerakan advokasi kebijakan berbasis data, melawan provokasi digital dengan literasi, serta menyiapkan diri untuk masuk ke gelanggang politik agar perubahan datang dari dalam sistem.
Demonstrasi besar ini harus menjadi alarm keras bagi DPR untuk berbenah. Jangan biarkan rakyat kehilangan kepercayaan sepenuhnya. Karena ketika kepercayaan sudah runtuh, sebesar apa pun kekuasaan yang dimiliki, tak ada lagi legitimasi untuk memimpin.***