PENJURU.ID | Opini – Alih-alih membuka sayembara agar siapa saja yang berhasil menaklukkan corona virus yang kian brutal ini, pemerintah malah menantang publik berdebat. Hal itu disampaikan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Panjaitan (LBP) beberapa hari yang lalu. Akibatnya bias, Isu makin mencuat. Lemparan bola liar memicu situasi nyaris tak kondusif. Masalah makin menjadi.
Bak persebaran gelombang kedua (second wave), dampaknya tak hanya pada Menko Maritim tetapi berdampak pada energi kabinet Indonesia maju terkuras. Tanpa berselang waktu lama, seketika tantangan itu langsung mendapat respon dan reaksi dari para ekonom kenamaan tanah air. Puncaknya, setelah beredar jawaban dari staf pengajar ekonomi universitas Indonesia (UI), Djamester Simarmata (DS) dalam cuitan Twitter-nya. Di lain pihak, Rizal Ramli (RR) dkk sejak awal sudah lebih dari siap. Tantangan diterima!
Singkatnya, sampailah pada momen yang dinantikan. Jadwal debat ditentukan. Namun usut punya usut, diam-diam debat dilakukan tapi tertutup. Pemberitaan di media pun sepi mewartakannya. Tak seheboh yang kita bayangkan di jagat maya ketika awal-awal menjawab “gertak sambal”. Lho kok gertak sambal? Ya, kalau serius, tidak mungkin tiba-tiba sang juru bicara (jubir) mengklarifikasi. Di sinilah keseriusan debat LBP vs DS di nilai kurang teruji. Kenapa demikian? Sebab keputusan itu justru blunder dan makin menimbulkan tanda tanya serta kecurigaan yang berlarut-larut. Kepercayaan publik tergerus (distrust). Alhasil, berakhir mengecewakan.
Apalagi di tambah dalam pesan DS seusai debat sebagaimana dikutip dari Kumparan.com, Kamis, (11/6/2020) menegasikan sebagai sebuah gimmick. Dalam kutipannya DS menyatakan, “Kita berdebat dalam pertemuan itu. Suara keras lho, seperti biasanya orang Batak”. (maaf, tanpa unsur rasis), tetapi pernyataan itu agak primordial, karena tak ada hubungannya dengan substansi isi dan nilai (value) debat ilmiah sebagaimana di wacanakan di awal. Sekalipun berbasis data yang akurat. “Suara keras” bukan patokan.
Soal keseriusan debat yang berlangsung sembunyi di atas, hanya ada dua kemungkinan. Pertama, DS belum siap secara mental. Barangkali ada intervensi kekuasaan yang bisa mengancam eksistensinya, mengingat status yang melekat pada dirinya sebagai tenaga pengajar di kampus negeri memungkinkan di dikte oleh pemerintah (atasan) atau pihak lain. Apalagi belum lama ini terjadi peristiwa kelam yang memberangus kebebasan berpendapat dan berfikir (freedom of speech) di salah satu perguruan tinggi.
Kedua, tersirat makna verbalis yang sarat primordialisme tadi meski debat telah berlangsung nyata adanya, sehingga dapat mereduksi substansi ilmiahnya debat. Atau sah-sah saja kita asumsikan bahwa sang dosen “telah diamankan”. Selain itu, DS merupakan pendatang baru sebagai kritikus. Tak semenonjol RR dkk. maka wajar menimbulkan asumsi publik sesuai tafsiran masing-masing.
Karenanya, meminjam istilah kekinian, “itu sih” bukan debat ilmiah, melainkan terkesan “kongkow bareng”. Atau Amien Rais mengistilahkan sebagai “kasak-kusuk”, sebab lazimnya debat yang ilmiah harus berlangsung secara terbuka di hadapan para promoter yang di saksikan publik. Tujuannya, agar publik bisa menilai dan menyaksikan secara langsung apakah keputusan pemerintah mengenai utang dan pengelolaan keuangan Negara masih dalam taraf yang wajar atau tidak.
Selanjutnya, jika argumentasi dan basis data pemerintah yang lemah, maka pemerintah harus berlapang dada dan menerima masukan dari semua pihak. Termasuk dari kelompok oposisi (social control grups) untuk evaluasi dan perbaikan tata kelola pemerintahan (good governance) ke depan.
Sebaliknya, jika pihak pengkritik hanya sekedar asal bunyi tanpa standar keilmuan dan basis data yang tidak mampu di pertanggung jawabkan, konsekuensinya harus berani mengakui kesalahan dan segera meminta maaf secara terbuka, layaknya debat.
Bahkan, jika diperlukan harus diproses hukum, dengan dalih telah membuat kesalahan fatal karena menimbulkan hasutan dan upaya pemecah belah sebagaimana tudingan pemerintah dialamatkan kepada para kritikus selama ini. Itu baru fear. Tandanya demokrasi kita hidup dan tumbuh kembang.
Mencermati langkah yang diambil DS di atas, bukan berarti lawan debat pemerintah telah usai. Eits! Tunggu dulu. Masih ada penantang lain dengan mentalitas baja yang lebih kritis dan konsisten dari DS.
Terlepas bagaimana proses dan mekanisme serta apa hasilnya, yang jelas publik tidak menganggap hal itu sebagai debat ilmiah. Dan intinya DS telah game over. Babak baru dibuka. Tantangan gayung bersambut. Habis DS terbitlah DW.
Timbul tenggelamnya wacana debat DS vs LBP di atas rupanya menjadi celah bagi para kritikus lainnya. Ialah Dradjad Wibowo (DW), ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) kolega atau kawan tandeman RR tadi. Sosok yang satu ini tak kalah lantang dari RR.
Kritik di bidang ekonomi dan pembangunan seolah sudah menjadi trade mark baginya, karena kerap kali melontarkan kritikan konstruktif sejak periode pertama rezim Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) atau saat sedang berada di komisi IX DPR, walaupun saat ini menteri keuangan yang di tantangnya berdebat masih di isi oleh orang yang sama.
Kritikannya yang paling menonjol ialah ketika menyoal Stabilitas Sistem Keuangan Negara dalam penanganan dan penyelematan Bank Century dibawah menteri Keuangan, Sri Mulyani. Adapun gagasan besarnya di bidang ekonomi pembangunan yaitu Mendorong Strategi Pembangunan yang Berkeadilan Sosial. Inilah jurus atau strategi jitu DW saat sedang berhadapan nanti jika kelak LBP bersedia berdebat secara terbuka.
Klimaksnya, ketika DW menjawab pertanyaan peserta diskusi virtual bertajuk “Negara Harus Bagaimana Pasca Covid-19: Perspektif Hukum, Ekonomi, dan Pendidikan” bersama pakar hukum tatanegara, Refly Harun, dan pakar pendidikan, Syafril, yang diselenggarakan Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Nusa Tenggara Barat (PWPM NTB), Jum’at (12/6/2020).
Poinya, dalam pemaparannya, DW bakal menelanjangi pemerintah alias akan buka-bukaan perihal nasib keuangan negara. Karena menurutnya masih banyak data dan fakta yang belum diungkap, makanya mantan Ketua Dewan Informasi Strategis dan Kebijakan Badan Intelijen Negara ini tak pernah gentar menjawab tantangan LBP. Bahkan alumnus Queensland University ini menegaskan bahwa Negara telah kecanduan utang sehingga harus diselamatkan.
Tetapi pertanyaannya, sanggupkah LBP berdebat secara terbuka sebagaimana tantangan balik dari RR dan DW? Nantikan jawabannya!
Aris Munandar