PENJURU.ID Tanah Datar – Bukit Batu Besi yang tertelak di Nagari III Koto Kecamatan Rambatan merupakan mayoritas milik ulayat. Bukit ini merupakan bukit yang menjadi sumber air buat pertanian bagi penduduk setempat yang disebut sarasah, selain itu juga ada dari Batang Air Bangkaweh/Bengkawas. Selain sumber air dan tempat berladang, ternyata bukit ini menyimpan banyak kisah yang belum banyak diketauhi masyarakat secara umum.
Hendri Sutan Mandaro salahsatu budayawan Minang dari Padangluar Nagari III Koto, yang mana dia juga merupakan Pengurus DPP Ikatan Keluarga Padang Luar (IKPL) di Dept. Rohani & Kebudayaan. Dia mengatakan bahwa cerita bukit tersebut mengandung budaya, perjuangan hingga tangis dan tragis.
“Bukit Batu Besi III Koto ini kalau kita lihat sekarang sangat indah dan apalagi dari puncaknya ke bawah, bisa memanjakan mata. Tapi dahulu Bukit ini pernah menjadi lautan api di era penjajahan Belanda. Ketika itu perumahan Rumah Gadang terletak dilereng Bukit Batu Besi yang dikenal sekarang perumahan dipanggang” kata Hendri Sutan Mandaro.
Rumah Gadang di Padang Luar Nagari III Koto sebelum adanya sistem ke Nagarian semua terletak di Bukit Batu Besi. Setelah Bernagari barulah ada Rumah Gadang dalam Nagari.
“Dalam pembentukan sebuah Nagari istilah adat Minang nya dari Taratak menjadi Dusun, dari Dusun menjadi Koto, dari Koto menjadi Nagari, Nagari Ba Panghulu. Taratak ini lah yang ada di Bukit Batu Besi itu dahulunya sebelum terjadi nya pembakaran oleh Belanda, bukan hanya bukit batu besi saja, melainkan hampir semua Nagari III koto dibumi hanguskan oleh Belanda” tegasnya.
Hendri Sutan Mandaro juga menjelaskan bahwa pada tahun 1914 dikeluarkan ordonasi nagari yang membatasi anggota Kerapatan Nagari hanya pada penghulu yang diakui pemerintahan Hindia-Belanda. Penghulu-penghulu dulunya memimpin Nagari secara bersama-sama sekarang diharuskan untuk memilih salah satu diantara mereka sebagai Kepala Nagari atau Wali Nagari. Sehingga posisi penghulu Suku kehilangan fungsi tradisionalnya.
“Sudah banyak yang hilang dan berobah pasca penjajahan seperti tuanku lareh tidak ada lagi, nagari dipilih secara demokratis dan hanya ada satu, kalau awalnya semua penghulu bersama-sama mengurus Nagari dan masih banyak perubahan yang lain oleh Belanda” terangnya.
Hendri Sutan Mandaro mengatakan Pada Tahun 1943 Jepang masuk dan menyelidiki serta ingin menambang besi di Bukit Batu Besi yang sampai sekarang masih ada beberapa bekas tambangnya.
Jepang dengan semboyan melanjutkan perang Asia Timur Raya mempraktikan pula kekejamannya yang bahkan lebih kejam dan ganas dari serdadu Belanda yang dikalahkan jepang dengan memulai memaksa rakyat Nagari III Koto bekerja diluar kemampuan dan diluar batas.
“Selain Jepang yang menambang di Bukit Batu Besi, ada juga beberapa Tahun yang lalu sebuah perusahaan melakukan penelitian/eksploitasi terhadap kekayaan alam di areal ulayat tersebut, tapi pada akhirnya dapat digagalkan, demi pelestarian alam dan sumber kehidupan masyarakat Nagari III Koto” jelas hendri.
Hendri Sutan Mandaro selain pengurus Ikatan Keluarga Padang Luar, dia juga merupakan pengurus Ikatan Pemuda Pemudi Minang Indonesia IPPMI yang mengetuai Dewan Perwakilan Wilayah Provinsi Jambi.
Minang sangat kental akan adat dan budayanya, juga tidak menutup kemungkinan dengan kisah-kisah keramatnya yang masih ada sampai sekarang. Seperti di Nagari III Koto, Kecamatan Rambatan, Kabupaten Tanah Datar. Salahsatunya dibukit Batu Besi, sperti peninggalan Surau Tuo, Budaya Bakaua dan Batu keramat yang ketika dibakarkan kemenyan batu tersebut mengeluarkan air.
Masyarakat Nagari III koto baru saja melaksanakan Bakaua di Bukit Batu Besi pada hari Kamis 3 Agustus 2023. Bakaua ini merupakan Tradisi Budaya Turun-temurun memanjatkan rasa syukur kepada Allah SWT agar diberikan kemudahan dalam pelaksanaan bertani hingga memperoleh hasil yang bagus.
“Surau Tuo di Bukit Batu Besi pernah menjadi tempat pengungsian ketika terjadinya pembakaran besar-besaran oleh belanda. Saatnya kita sebagai generasi penerus menghidupkan dan melestarikan apa yang leluhur kita perjuangan dahulu. Baik itu Adat, Budaya, Alam dan lain sebagainya. Hargailah perjuangan leluhur agar kita dapat menjalani hidup dengan bahagia” tutupnya.