PENJURU.ID – Pekanbaru, Panglima TNI mempercayakan Marsekal Muda (Marsda) Henri Alfiandi (53) menempati salah satu posisi jabatan penting di tubuh TNI AU pada 24 September 2018. Jabatan baru yang embannya sebagai Panglima Komando Operasi Angkatan Udara II yang disingkat Pangkoops AU II.
Sebelum Henri juga pernah sekolah Sesko di Jerman. Selama tugas di Jerman, alumni Akabri Udara tahun 1988 ini akhirnya mahir berbahasa Jerman. Ada dua tahun dia tinggal di negeri Panser tersebut. Kembali dari Jerman, selanjutnya mengikuti kursus operasi gabungan di Sesko TNI.
“Selang dua bulan ikuti kursus Atase pertahanan dan intelijen strategis untuk penugasan di Washington DC AS,” kata Henri kepada detikcom, Jumat (28/12/2018).
Pada Oktober 2009, dirinya pun bertugas sebagai Atese Udara di Amerika Serikat. Di sinilah suami dari Ir Santi Pratiwi mendapat tugas khusus. Misi yang diembannya, untuk membenahi sistem pengadaan suku cadang dan negosiasi mendapatkan pesawat tempur F16 dari negara Adi Kuasa itu. Di mana saat itu pemerintah Amerika berjanji akan membuka embargo pada Indonesia.
“Peran saya dalam pengadaan pesawat F16 boleh dikata menentukan untuk mendapatkan 24 unit F16,” kata Henri.
Tugas mendapatkan pesawat F16 itu, merupakan tugas yang diberikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dengan dana yang terbatas, namun bisa memboyong banyak pesawat tempur untuk menambah kekuatan armada udara di Indonesia dan sekaligus sebagai tonggak keberhasilan diplomasi internanasional bagi pemerintahan SBY bila berhasil memboyong pesawat handal tersebut.
Presiden SBY, memberikan perintah melalui Dubes Dino Patti Djalal untuk mendapatkan pesawat tempur tersebut. SBY memberikan syarat dalam pengadaan tersebut harus transparan, akuntabel, kualitas dan tepat waktu pengiriman. Ke empat syarat inilah yang dipegang teguh Henri untuk mendapatkan hasil pengadaan yang optimal.
Proses pengadaan pesawat tempur normalnya 4 tahun dengan kontrak diteken hingga pesawat di kirim ke Indonesia. Tapi misi yang diemban Henri bagaimana caranya proses itu bisa hanya dua tahun.
“Suatu hal yang mustahil. Namun berkat kerjasama KBRI saat itu dipimpin Dino P, kita membuat tim untuk bisa diselesaikan untuk tugas negara dalam pengadaan pesawat tempur,” kata Henri.
Dalam proses itu terjadi mutual support antara aparat sipil dan militer untuk tugas negara membeli pesawat tempur. Kehebatan proyek ini, tidak ada satu pun LSM di Amerika yang protes.
“Senator yang vokal di AS juga dapat dibungkam oleh Dubes Dino. Biasanya Amerika sangat sensitif terhadap pembelian alutsista militer menyangkut Indonesia,” katanya.
Syarat pembelian pesawat tempur yang ditentukan Presiden SBY kala itu, menjadi acuan untuk menentukan sistem pembelian. Ada dua macam sistem pembelian yaitu G to G (pemerintah dengan pemerintah) atau lewat swasta atau mitra rekanan.
“Di sinilah serunya. Nego internal untuk sistem pembelian sangat alot bahkan Menhan saat itu harus turun tangan,” kata Henri.
Dalam sistem pembelian ini, akhirnya diputuskan dengan G to G. Pembelian akhirnya tepat wakti sehingga pada 5 Oktober 2014 silam pesawat F16 dari AS dapat memeriahkan HUT TNI di Surabaya. Dan terbukti hingga pesawat tempur F16 dapat terbang dengan mutu terbaik bahkan sistem avionicnya setera dengan blok 52 negara tetangga.
Baginya menjadi Atase merupakan sekolah, belajar sekaligus praktik diplomasi tingkat internasional dan negosiasi. Tiga tahun menjadi Atese dan kembali ke tanah air tahun 2012.
“Selesai Sesko 2014, dapat jabatan sebagai Paban 3 Intelijen Udara dan saya menjabat hanya beberapa bulan saja. Selanjutnya saya harus sekolah Lemhanas luar negeri di AS, Air War Colledge di Alabama selama setahun,” kata Henri.
Selepas itulah, Henri dipercayakan menjadi Komandan Lanud Roesmin Nurjadin (Rsn) di Pekanbaru dari tahun 2015 hingga awal tahun 2017 dengan pangkat Marsekal Pertama alis bintang satu
Wilayah Riau baginya bukan hal yang asing lagi. Karena dia sebelumnya pernah menjabat sebagai Danskadud 12 Wings tahun 2002 dan menjadi Kadisops Lanud Rsn tahun 2004.
Menjadi orang pertama di Lanud Rsn tahun 2015, kala itu Riau lagi dikepung asap imbas dari kebakaran lahan. Kabut asap terparah setelah tahun 1997.
Tahun 2015 itu, wilayah Riau bak lumpuh akibat kabut asap. Bandara Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru sempat tutup karena jarak pandang yang terbatas.
Melihat kondisi ini, Henri sepertinya geram. Lanud Rsn ikut dalam Satgas Karhutla. Selaku Komandan Udara Satgas, dia perintahkan pasukannya untuk mencari para pembakar lahan. Heli milik TNI AU dia berdayakan untuk keliling mencari pelaku.
Di Kabupaten Rokan Hilir kala itu, tim Satgas Udara berhasil menangkap dua pelaku pembakar lahan. Tim TNI AU memboyong kedua pelaku dengan heli. Selanjutnya keduanya diserahkan ke Polda Riau.
Tak hanya itu saja, kiprahnya di Riau juga cukup disegani. Henri tanpa tedeng aling-aling terus menyusuri para pelaku pembakar lahan. Timnya kembali menyusuri kawasan Taman Nasional Tesso Nilo.
Para pelaku pembakar lahan memang mengetahui jika akan datang tim Satgas. Sehingga mereka melarikan diri dari lokasi lahan yang mereka bakar.
Bagi Henri tidak ampun buat pelaku perambah hutan itu. Heli TNI AU turun ke lokasi bersama tim lainya di barak yang ditinggalkan pelaku pembakaran. Tanpa sungkan, dia perintahkan barak-barak yang ada di lokasi dibakar. Sikapnya yang tegas ini kali pertama terjadi Riau barak pelaku pembakar lahan dibakar hingga rata dengan tanah.
Sikapnya yang tegas tanpa kompromi itu, kini membuahkan hasil yang gemilang. Satgas akan tetap bertindak tegas tanpa kenal kompromi pada pelaku yang merusak lingkungan. Satgas Karhulat Riau sejak tahun 2016 hingga 2018 akhirnya mampu membendung lajunya kebakaran lahan.
Selama tiga tahun berturut-turut Riau bebas asap karena sinergitas lintas instansi yang ada dari Pemprov Riau, Lanud Rsn, Korem Wira Bima, BPBD, Manggala Agni, perusahaan dan masyarakat.
“Suatu pengalaman yang berbeda dalam penanganan kebakaran lahan di Riau,” kata Henri mengenang kala asap mengepung Bumi Lancang Kuning.
Henri juga membuka diri terlebih pada awak media. Padahal, saat menjadi ajudan, ia kerap menjaga ketat komandannya dari kejaran awak media.
“Komandan saya waktu itu bilang, jangan samakan diri kamu dengan wartawan. Tugas mereka memang seperti itu. Nanti kamu akan tahu bagaimana sistem kerja dan bersinergi dengan wartawan,” kata Henri mengutip keterangan komandannya kala itu.
Perlahan, ia bisa memahami dinamika dunia pers. Henri akhirnya menjadi salah satu perwira tinggi yang bisa memahami tugas-tugas jurnalistik.
“Suatu suprise buat saya. Ternyata media menilai juga kinerja saya selama ini,” kata ayah dari Rachael Shandika Putri itu.