Bintang Emon; Daftar Panjang Upaya Pembungkaman Publik

Muhammad Anhar, Sekretaris Umum DPD IMM NTB Periode 2016-2018

PENJURU.ID | Opini – Perubahan politik di Indonesia (1998) berdampak pada iklim kebebasan berserikat dan berpendapat. Komunikasi politik di Indonesia tidak lagi bersifat malu-malu kucing. Kebebasan berekspresi dan berpendapat pasca 1998 semakin kokoh dan mendapatkan ruangnya.

Selain itu UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) lebih dalam mengatur mengenai kebebasan berekspresi tersebut, dalam Pasal 22 ayat (3) UU tersebut menyebutkan bahwa “Setiap orang bebas mempunyai, mengeluarkan dan menyebar luaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan atau tulisan melalui media cetak maupun media cetak elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa”.

Bacaan Lainnya

Untuk menguraikan masalah kekinian, kebebasan berekspresi dan berpendapat di muka umum hendaknya dilihat dari perspektif yang lain. Jika berpikir secara fundamental, benar Indonesia dikenal sebagai bangsa Muslim terbesar di dunia. Sekitar 83, 55 % rakyat Indonesia mayoritas beragama Islam. Sekali pun Islam tidak diatur dalam konstitusi sebagai agama negara. Seperti halnya Malaysia.

Tetapi dengan keberadaan muslim sebagai umat yang mayoritas, sudah barang tentu doktrin keagamaan menjadi keniscayaan. Hak kemerdekaan  berpikir, mengeluarkan pendapat di muka umum adalah sesuatu yang melekat dalam keyakinan keagamaan. Karena prinsip kehidupan dalam Islam bersendikan pada akal semuanya.Maka negara tidak memiliki hak untuk mengebiri kebebasan berpendapat. Karena islam telah menjamin kemerdekaan bagi umatnya.

Ketika negara memaksakan kehendak untuk mengekangnya, jangan salahkan masyarakat jika upaya pembungkaman di respon dengan cara yang reaktif. Keyakinan terhadap doktrin keagamaan adalah sesuatu yang mutlak adanya. Sebab Islam akan tetap berdiri meski tanpa negara sekalipun. Nampaknya, kebebasan berekspresi dan berpendapat di muka umum masih menjadi polemik dalam itu politik sendiri.

Hal ini pula yang sedang dihadapi oleh komedian Gusti Muhammad Abdurrahman Bintang Maha putra alias Bintang Emon. Beberapa waktu belakang ia menjadi topik hangat dalam pemberitaan media massa. Baik cetak maupun online. Bintang Emon mulai dikenal setelah berhasil menjuarai Stand-up Commedy Academy 3 yang ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi swasta pada tahun 2017 lalu.

Upaya penyerangan terhadap dirinya tampak setelah akunnya mulai diserang oleh buzzer dengan tuduhan bahwa ia menggunakan narkoba. Tuduhan itu dialamatkan kepadanya setelah ia mengkritik kejanggalan hukum terhadap terdakwa kasus penyiraman air keras yang dialami oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia Novel Baswedan. Kejanggalan itu berupa ringannya tuntutan hukum oleh jaksa yang hanya menuntut satu tahun penjara terhadap para terdakwa.

Menurutnya ada ketimpangan dalam penegakkan hukum terkait kasus itu, karena jumlah tuntutan satu tahun masa tahanan jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan waktu yang dihabiskan untuk memburu para terdakwa. Terhitung 2,5 tahun negara menghabiskan waktu untuk memburu mereka. Baginya itu merupakan bentuk perbandingan yang tak seimbang.Sementara itu dari kejaksaan, Ahmad Patoni  menyebut pihaknya memiliki alasan menuntut satu tahun penjara. Karena Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis, menurutnya, mengakui perbuatannya dalam persidangan.

Upaya pembungkaman lain yaitu serangan berupa peretasan terhadap akun Media Sosial  yang sempat menimpa sejumlah aktivis secara masif. Terutama mereka yang selama ini vokal mengkritik RUU Omnibus Law Cipta Kerja.

Rivanlee Anandar Peneliti dari Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dalam keterangan persnya bersama Tempo.com (15/06/2020) menilai bahwa apa yang telah dilakukan oleh buzzer dengan menyerang pribadi komedian Bintang Emon sebagai pengguna narkoba adalah bentuk pembungkaman terhadap individu atau kelompok.

Sebelumnya praktik penyerangan dengan upaya pembungkaman di Indonesia sudah seringkali terjadi. Namun dalam penanganannya belum memuaskan masyarakat. Ini menandakan hukum di Indonesia masih tebang-pilih. Istilah membantah hukum sebagai panglima jelas terbantahkan. Karena hukum akan tumpul dan gampang untuk dilanggar ketika berdampingan dengan kepentingan politik.

Peristiwa penyerangan terhadap individu dan kelompok menandakan rendahnya kualitas demokrasi di Indonesia. Praktik demokrasi di Indonesia belumlah dewasa dalam memaknai perbedaan pendapat di muka umum. Akibatnya ada pihak yang sengaja mengambil alih peran negara untuk melakukan intimidasi verbal dan non verbal terhadap mereka yang berlainan pendapat.

Kritikan Bintang Emon, apa yang dikhawatirkan?

Dalam analisa sederhana, upaya penyerangan terhadap akun twitter menunjukkan adanya kekhawatiran menyoal akun instagram yang digunakan untuk meng-upload video tersebut memiliki 2,7 juta pengikut. Jika di bandingkan dengan akun artis papan atas Indonesia jumlah pengikutnya di Instagramnya tentu kalah saing. Tetapi konten yang di unggah melalui akunnya selalu mendapat respon positif dari masyarakat. Karena dianggap mewakili keluh-kesah masyarakat.

Salah satu contoh, Bintang Emon melalui segmen Dewan Perwakilan Omel-omel  (DPO) konten ke-10 dan 12 yang masing-masing di unggah pada tanggal 22 dan 30 Maret 2020 tentang virus Corona-19 mendapat respon yang luar biasa positif. Video tersebut diputar hingga 3,5 juta kali di Instagram. Angka 2.7 juta pengikut ini, bisa menjadi ancaman bagi sebagian orang, jika video pembelaan terhadap Novel Baswedan terus dibagikan dan menjadi konsumsi publik luas.

Karena itulah kenapa para buzzer menyerangnya dengan menuding Bintang Emon sebagai pengguna narkoba.Dalam dunia kejahatan t serangan ini di sebut sebagai Individual trollinng. Yaitu sebuah model serangan yang dilancarkan dengan merusak reputasi korban.Karenanya narkoba dipilih sebagai peluru serangan. Tetapi tuduhan itu sontak dibantah cepat oleh komedian yang lain.

Vidio yang di unggah jika dibandingkan dengan kritikan dari pihak lain,Kritikan Bintang Emon tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan kritik yang lain dalam tema politik yang cenderung menghujat, mengumpat, memfitnah, mencaci, dan cenderung menghancurkan karakter lawannya.

Para buzzer memutuskan menyerang Bintang Emong,  karena kritik dengan model Humor dianggap efektif untuk melancarkan kritik-kritik terhadap negara akhir-akhir ini. Disamping budaya humor orang Indonesia juga sangatlah tinggi.Mengapa demikian, karena acara standupcomedy belakangan ini menjamur dan menjadi tontonan sampingan disela-sela kegiatan inti agenda utama.

Kritik yang dikemas dalam model humor tidak disampaikan dengan bahasa yang keras.Tidak juga dengan mencaci, menghujat dan memfitnah. Tetapi murni ingin menyampaikan pendapat tersebut serasional mungkin. Dalam vidio itu juga tegas disebutkan bahwa yang salah bukanlah cara jalan Novel Baswedan tetapi yang salah ialah dalam aspek penegakkan hukumnya.

Alasan lain, kenapa buzzer menyerang Bintang Emon ialah meskipun dia bukan rival politik secara langsung orang yang berkepentingan. Tetapi buzzer melihat ada keuntungan bagi Novel Baswedan.  Ia akan diuntungkan karena kasus yang menimpanya mendapatkan pembelaan  dengan sentuhan komedi dan vidio tersebut berjalan secara efektif.

Jika itu dibiarkan, maka akan terbentuk suatu konsensus khalayak yang berkenaan dengan pembentukan opini publik. Vidio yang tersebar itu pada gilirannya akan mengkristal menjadi suatu pendapat umum.Karenanya, sedini mungkin pembelaan-pembelaan yang akan memperkuat Novel Baswedan harus segera di tepis.

Dalam perspektif komunikasi juga, ada setting psikologis yang sedang bermain. Maka yang di kedepankan oleh buzzer ialah menyerang secara langsung tanpa melihat kembali isu apa yang dipakai untuk menyerang Bintang Emon. Pada posisi ini para buzzer hanya memikirkan respon public yang cukup antusias terhadap vidio itu, disamping ada permainan bahasa yang digunakan dalam upaya pengkritikkan.

Pada tahap ini ada sesuatu yang terjadi, yaitu pergeseran  paradigma komunikasi.  Dimana makna tidak dibentuk oleh Bintang Emon sebagai pengkritik melainkan dibentuk oleh kepala penerima pesan atau masyarakat.Masyarakat yang terlibat didalamnya untuk menonton vido tersebut akan memaknai kritikan oleh Bintang Emon sebagai sebuah kebenaran.

Memaknai kritik

Hakikatnya sebuah kritik yang dari luar koalisi pemerintahan dianggap sebagai otokritik yang menggambarkan secara objektif mengenai kondisi kebangsaan.Posisi pengkritik pun jangan dilihat sebagai kekuatan oposisi yang hendak ‘menelanjangi’ pemerintahan.Termasuk yang dilakukan oleh Bintang Emon.

Proses transformasi informasi seharusnya dapat berjalan sealamiah mungkin. Tanpa ada upaya sistemik melihat kritikan dan masukan sebagai tanda perlawanan terhadap pemerintahan.

Siapapun harus melihat kritik sebagai masukan strategis.Dalam konteks kenegaraan bangunan sosial-politik negara sesungguhnya sedang rapuh dan goyah.Kritik-kritik yang bermunculan harus di formulasikan untuk meluruskan arah penyelenggaraan negara.

Mereka yang tegas terhadap kritiknya adalah mereka yang jujur pada nuraninya. Maka kritikan Bintang Emon sesungguhnya peringatan bagi pemerintah untuk dapat menjalankan kekuasaan sesuai dengan orientasi kenegaraan.

Kesederhanaan kritik itu disampaikan secara sistematis tetapi sarat akan makna. Panjangnya perenungan menandakan adanya permasalahan yang amat serius yang tengah dihadapi oleh negara. []

 

Muhammad Anhar

Sekretaris Umum DPD IMM NTB 2016-2018 dan Mahasiswa Pascasarjana Universitas Pendidikan Sultan Idris Malaysia

Pos terkait