PENJURU.ID | Opini – Amerika Serikat (AS) dikenal dunia sebagai negara Adidaya yang memiliki banyak kepentingan diberbagai sektor global. Tahun 2014 AS berseteru dengan China untuk mendapatkan kepemilikan Kepulauan Spartly di Laut China Selatan (LCS) melalui kerjasamanya dengan Filipina. Namun, tahun-tahun berikutnya AS semakin menampakkan keagresifannya dengan melakukan patroli dan latihan militer di wilayah LCS.
Keagresifan AS tersebut membuat China merasa terancam. Pasalnya, China getol mengklaim LCS berdasarkan jejak Historisnya. Meskipun begitu, belum ada kebenaran mutlak bahwa China lah pemilik hampir seluruh wilayah LCS sesungguhnya.
Bagi negara hegemoni seperti AS dan china sebagai negara yang memiliki cita-cita untuk menjadi penguasa global LCS menjadi daya tarik untuk kedua negara tersebut, alasannya :
- Laut China Selatan memiliki banyak keistimewaan, selain kaya akan sumber daya alam minyak dan gas alam, LCS menjadi tempat strategis negara hegemoni untuk membentangkan kepentingan militernya. Sampai saat ini LCS menjadi tempat AS dan China untuk memamerkan alat-alat militernya serta kemampuan militer dengan melakukan latihan militer bersama dengan negara lain dan menaruh kapal induk di beberapa wilayah LCS.
- LCS merupakan laut yang posisinya dekat dengan negara-negara Asia Tenggara, Eropa dan Australia karena itu siapapun yang mampu menguasai LCS menjadi peluang besar untuk menginvasi negara-negara sekitar LCS tersebut baik untuk kepentingan ekonomi ataupun politik. Laut China Selatan merupakan jalur tercepat dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia dan merupakan tempat bagi beberapa jalur pelayaran tersibuk di dunia. Apabila AS ataupun China dapat menguasai LCS, dapat dipastikan kedua negara tersebut akan memungut biaya bagi siapa saja yang melewati ladang emas tersebut.
Lalu bagaimana respon Indonesia terutama kepada China yang pertama kali klaim wilayah?
Indonesia merupakan negara yang cukup dekat dengan AS dan China melalui kerjasama di berbagai bidang salah satunya bidang Ekonomi. Mengingat adanya kemungkinan kedua negara tersebut menjadi penguasa LCS, Indonesia dapat menjadi mitra yang istimewa bagi kedua negara tersebut. Tindakan Indonesia yang menolak klaim China atas LCS membuat Indonesia tampak tegas di mata dunia. Namun, respon terhadap klaim tidak cukup hanya sekedar “menolak”. Pasalnya, apabila terus seperti itu, keagresifan AS dan China akan semakin meningkat ke kasus Illegal Fishing dan sektor lainnya. Jika dihubungkan dengan kasus-kasus sebelumnya, kapal nelayan China sudah sangat sering memasuki laut Indonesia dengan dalih tidak mengetahui sampai mana perbatasan negaranya apalagi jika China atau AS sampai menguasai LCS mereka akan semakin menggebu-gebu untuk menguasai perairan Indonesia lewat LCS yang berbatasan langsung dengan perairan Natuna.
Selain itu China juga menjadi negara pengimpor ikan terbesar salah satunya dari Indonesia. Menurut data BPS setiap tahun Indonesia dapat mengekspor ikan ke negara tirai bambu tersebut sebesar 26,66% dari total keseluruhan ekspor perikanan Indonesia ke berbagai negara. Tidak dapat dibayangkan apabila China menjadi penguasa LCS, pengurangan volume ekspor Indonesia dapat berkurang drastis dan signifikan.
Maka dari itu, ketegasan Indonesia sangat diperlukan untuk merespon sikap agresif AS dan China. Agar tidak terjadi konflik Internasional dan sektor-sektor yang sudah berjalan dapat terus terjaga.
Anisa Nirmala Sari, S.IP
Alumni Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Budi Luhur